Di Pura Banjar Sading Badung sekelompok penari sedang bercengkerama menanti hadirnya para penabuh gamelan Pelegongan. Setiap Rabu malam mereka berkumpul dan berlatih tari legong diiringi sekaa gong samara pegulingan Punia Bhakti. Saat penabuh mulai memainkan musiknya, para penari langsung mengambil posisi untuk berlatih legong. Riuh canda dan gemulai gerak menghiasi latihan malam itu. Paguyuban Seni Tari Klasik Ardhanareswari, begitulah nama kelompok tari yang sedang berlatih itu. Ardhanareswari adalah kata dalam bahasa sansekerta yang merupakan perpaduan dari ardha-dana-iswari. Ardha berarti setengah/bagian, Dana berarti pria, dan Iswari adalah perempuan. Ardhanareswari adalah anak dalam karya, bukan perempuan, bukan laki-laki. Maka, ada bagian dana, dan bagian iswari dalam diri Ardhanareswari. Ini menjadi menarik mengingat tari legong yang biasa kita lihat adalah tari klasik Bali yang ditarikan oleh sekelompok penari perempuan nan cantik, sedangkan malam itu di Pura Sading para penari adalah kelompok cross gender, yang notabene laki-laki dengan penampilan perempuan. Putu Raksa, penggagas berdirinya paguyuban seni tari klasik Ardhanareswari berkisah tentang tari legong yang dulunya dimainkan oleh laki-laki sebelum perempuan mendapat kedudukan dalam panggung pertunjukan Bali. Kini mereka ingin merebut kembali kedudukan itu dengan membentuk sekaa legong muani. Awal tahun 2012 terbentuk “Cross Gender Bali”, yang anggotanya semua adalah laki-laki cantik dan sudah barang tentu sudah fasih menarikan beberapa tari legong dengan pakem-pakemnya. Berbincang mengenai laki-laki cantik, teringat Judith Butler sebagai penulis buku Gender Trouble yang mencoba mengurai kekusutan gender dan seks itu dengan menghadirkan konsep gender dan seks sebagai “pertunjukan” atau “hasil pertunjukan”. Feminisme, dengan tesis utamanya gender bentukan sosial dan seks kodrat, tidak memadai sebagai pisau analisis untuk melihat bentuk ketidakadilan yang berkaitan dengan keragaman gender dan seksualitas. Kembali ke Paguyuban Seni Tari Klasik Ardhanareswari, yang dalam aksi panggungnya kelompok ini sungguh luar biasa bisa menipu penonton dengan performanya. Dalam sebuah pesta ritual di hunian mewah Jimbaran. Kelompok Cross Gender mendapat kesempatan untuk menarikan beberapa repertoar Legong. Mereka berdandan dengan begitu anggun, hingga penonton tak dapat lagi mengenali jenis kelamin mereka. Mereka menari Legong dengan begitu luwes dan cantik.
Sesuai pemikiran Butler mengenai “performativity”, yakni apa yang kita katakan atau lakukan bersifat konstitutif. Kalau kita mengisi formulir pada kolom jenis kelamin, yang berlangsung sebenarnya bukan kita “menginformasikan” jenis kelamin kita, melainkan kita “membentuk” jenis kelamin kita. Inspirasi Butler tentang konsep performativitas ini adalah drag. Drag adalah kontes kecantikan dan pertunjukan para waria untuk menunjukkan mana yang paling cantik, yang paling berhasil menjadi “perempuan” sesungguhnya dengan kulit yang halus. Drag adalah seperti kontes kecantikan pada umumnya, peserta tampil di atas panggung dengan gaya yang feminine berlenggak-lenggok dalam panggung. Pebedaan pertunjukan drag dengan gender adalah para juri menilai kecantikan dan menilai kehalusannya sebagai perempuan. Menyaksikan drag di Thailand, para penonton biasanya akan berkomentar: “kita betul-betul tidak bisa membedakan mana “perempuan jadi-jadian” dan mana “perempuan sesungguhnya”’. Mengasosiasikan gender dengan drag, Butler ingin mengatakan bahwa semua gender adalah “jadian-jadian” yang menipu kita dengan menampakkan dirinya seolah dia yang “asli”. Performativitas penari yang begitu perempuan dalam panggung menunjukkan adanya manipulasi seks. Aksi panggung dari para ‘laki-laki’ cantik ini memperlihatkan bahwasanya gender merupakan sebuah performativitas dan bukan takdir biologis seseorang. Teori Queer beranggapan bahwasanya identitas gender bahkan identitas seks bukanlah merupakan suatu hal yang ajeg atau bersifat tetap melainkan selalu bergeser-geser. Teori Queer memandang bahwa gender seharusnya tidak ditafsirkan sebagai identitas yang stabil, namun harus dilihat sebagai suatu identitas yang lemah terhadap waktu, berada pada suatu ruang yang menyesuaikan dengan berulangnya sikap atau tingkah laku. Panggung menjadi sebuah ruang untuk mempertunjukkan identitas kelompok Cross Gender ini. Gagasan awal Putu Raksa yang ingin mengembalikan kedudukan laki-laki dalam panggung pertunjukan Bali merupakan hegemoni maskulin yang terlanjur hadir dalam budaya patriarki. Meski tampil dalam balutan busana dan keanggunan perempuan, namun pada kenyataannya keinginan untuk mengembalikan panggung menjadi milik ‘laki-laki’ terjadi. Walau dapat diamini bersama ‘laki-laki’ dalam bentuk yang berbeda. Berbeda dengan drama tari gambuh misalnya, yang memang muasalnya adalah panggung milik kaum lelaki. Apapun karakter tokoh yang dimainkan, termasuk sosok putri atau galuh yang cantik dan lembut, tetap lelaki sebagai aktor. Sementara pada legong, dalam konteks historisnya sebagai buah pertunjukan dari terjemahan mimpi raja Sukawati, memang menempatkan perempuan sebagai aktor. Ini repertoar yang berkisah tentang bidadari yang menari, yang berlabuh di depan istana kerajaan. Walau memang pada gilirannya beberapa modifikasi terjadi, termasuk masuknya cerita seperti Lasem dalam pentas Legong. Yang mutakhir, aktor perempuan digantikan aktor lelaki. Sampai sejauh mana bisa menerjemahkan karakter tari yang energik ini bersosok taksu oleh tubuh lelaki-lelaki yang dipilih itu, adalah hal yang harus ditunggu.
Terima kasih atas informasi yang berguna . Perlu menambahkan blog Anda ke bookmark
terima kasih