Karnaval: Perayaan Sejarah & Tanpa Sejarah

Karnaval: Perayaan Sejarah & Tanpa Sejarah

Senja, 22 Juni 2014, Malioboro jantung kota Jogjakarta yang letaknya tidak jauh dari pusat budaya dengan label adiluhung riuh dengan warna-warni busana yang meriah. Sebuah karnaval digelar dengan tajuk “Beruga Jenggala Nusantara”. Jogjakarta dengan segala pencitraan kota masa kini tak ketinggalan menggelar sebuah event “Jogja Fashion Week 2014”. Acara ini sudah dihadirkan untuk kali ke sembilan oleh Dinas Pariwisata Jogjakarta dengan serangkaian acara seperti seminar, bursa fashion dan fashion show dalam ruang, dan puncak acara menyuguhkan karnaval kostum dan busana di jalanan.

Karnaval “Beruga Jenggala Nusantara” menghadirkan kembali kemegahan dan kejayaan nusantara khususnya dari wilayah Jawa, Bali, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi hingga Papua. Diikuti sekitar 500 peserta, acara yang disebut dengan Jogja Fashion Carnival ini menjadikan Jalan Malioboro sebagai catwalk. Para peserta tidak hanya datang dari sejumlah kota di Indonesia, namun hadir juga dari Thailand dan Australia. Penampilan dengan busana yang megah penuh warna, menarik perhatian ribuan orang untuk tak hanya menikmati tapi juga mengabadikan moment ini.

Kemegahan Jogja Fashion Carnival 2014 (Foto: Kompasiana)

Karnaval dibuka dengan suguhan marching band dari Universitas Gadjah Mada dengan menampilkan beberapa komposisi lagu, salah satunya adalah lagu “Yogyakarta” milik Kla Project yang identik dengan nuansa Malioboro. Alunan lagu Yogyakarta seolah mengingatkan bahwa kemegahan karnaval hadir di jalanan Malioboro. Ribuan manusia memadati jalanan yang menjadi catwalk. Aneka warna berpadu membentuk harmoni yang indah dalam kostum-kostum yang dikenakan. Tak hanya penuh warna, kesan glamour hadir di panggung catwalk jalan Malioboro. Decak kagum hadir tatkala selendang, kain batik dikreasikan dengan tingkat kerumitan yang tinggi menjadi sayap-sayap berukuran super besar, dan susunan bentuk bunga hingga mahkota. Busana yang jauh dari realita keseharian, memukau penonton yang hadir saat itu.

Di Indonesia, karnaval selalu terkait dengan momentum besar dalam kehidupan bernegara atau untuk kepentingan ritual keagamaan. Karnaval biasanya dilakukan ketika bangsa ini memperingati hari kemerdekaan. Di daerah-daerah yang masih memiliki tradisi kasultanan seringkali juga melakukan prosesi semacam karnaval dalam kepentingan ritual. Di Kasunanan Surakarta misalnya, setiap menyambut bulan Syura pihak Kasunanan mengiring kyai Slamet (kerbau bule) mengelilingi Keraton Kasunanan sebagai upaya untuk menciptakan keselamatan untuk setahun mendatang. Karnaval kyai Slamet merupakan penanda sebuah keinginan menciptakan keselarasan hidup di tengah kehidupan masyarakat Surakarta. Di Bali hal semacam ini juga bisa disaksikan dalam perayaan Barong Nglawang, Palebonan (prosesi ngaben) dan lain sebagainya. Di Kasultanan Jogjakarta juga memiliki prosesi upacara yang bernuansa karnaval seperti pada bulan Syura; jamasan pusaka, atau dalam bulan Muharam dengan mengarak tumpeng telor, sayur, dan jenis makanan lain untuk kemudian diperebutkan. Prajurit, dan kereta kencana dipertontonkan kepada khalayak sebagai tanda kebesaran kekuasaan. Tentunya ini sangat berbeda dengan karnaval busana yang mendekonstruksi jalanan sebagai catwalk.

Hadirnya karnaval busana di Indonesia merupakan fenomena baru yang trend dalam dekade akhir ini. Karnaval dengan bentuk semacam ini awalnya hadir di kota Jember. Jember Fashion Carnival (JFC) merupakan sebuah fenomen yang mengejutkan karena sebuah karnaval mode semacam itu bisa hadir di Indonesia, apalagi di sebuah kota yang jauh dari Jakarta atau pusat-pusat mode di Indonesia. JFC mengilhami enam provinsi untuk menggelar kegiatan serupa. Bahkan, agar terjadi standardisasi karnaval, baik secara nasional maupun internasional, dibentuk Asosiasi Karnaval Indonesia (Akari).

Pada awalnya masyarakat Jember yang jauh dari pusat kota provinsi, memandang bahwa apa yang dilakukan oleh sekelompok orang yang diprakarsai putra daerah Dynan Fariz dengan pakaian aneh itu merupakan perbuatan kontroversial dan main-main. Pakaian yang mereka kenakan tidak seperti layaknya pakaian keseharian, akan tetapi didesign “nyleneh” seakan tidak jelas darimana rujukan dan asalnya. Mereka hanya melihat ada kain batik, tali, akar, topeng, dan lain sebagainya yang disusun sedemikian rupa menutupi tubuh, bahkan wajah. Hal ini tentu semakin menimbulkan tanggapan yang penuh kontradiksi.

Jember dikenal sebagai daerah pendalungan, artinya hampir semua tradisi atau budaya yang ada dipunyai juga oleh daerah lain. Asal-usul warga Jember sebagian besar dari migrasi daerah tapal kuda (tapal kuda daerah yang memiliki tradisi dan budaya Madura) dan Mataraman (daerah yang memiliki kultur Jawa). Budayawan dari Universitas Jember, Prof. Ayu Sutarto, menyebutnya sebagai masyarakat pendalungan, tidak memiliki akar kesenian, budaya, dan tradisi yang kuat. Hampir sebagian besar warganya datang dari daerah asal masyarakat migrasi itu (Kompas, 5/7/2014). Pendalungan adalah gambaran wilayah yang menampung beragam kelompok etnik dengan latar belakang budaya berbeda, yang kemudian melahirkan proses hibridisasi budaya. Jember Fashion Carnaval (JFC) lahir dari hasil hibridisasi budaya yang sangat kreatif oleh putra daerah, Dynand Fariz.

Jember Fashion Carnival (Foto: www.jemberfashioncarnival.com)

Dalam tataran internasional JFC bukanlah hal baru. Hal ini bisa dilihat dari keberadaan Rio de Jeneiro Carnival, Nottinghill Carnival, Mardi Gras Carnival, dll sebagai interteks dari Jember Fashion Carnival. Karnaval-karnaval tersebut bisa dikatakan sebagai reference serta hypogram dari JFC. Meskipun demikian, tetap saja JFC telah melakukan dekonstruksi karnaval di Indonesia. JFC juga telah membuat Jember sebagai pusat perhelatan mode dunia tanpa kesejarahan sebelumnya. Ini menjadi menarik untuk diperbincangkan kemudian yakni, bagaimana sebuah karnaval “mode” bisa muncul di Jember dan kemudian diikuti oleh beberapa kota di Indonesia tanpa sejarah yang mendahuluinya? Adakah pula ini penanda dari salah satu gejala postmoderisme dalam kehidupan budaya Indonesia?

Hybriditas dalam Alunan Samba

Sejarah meyakini istilah karnaval berasal dari carnevale – yang berarti untuk menyingkirkan daging. Carnevale ini merupakan kegiatan yang dilakukan oleh para pengikut agama Katolik di Italia. Mereka memiliki tradisi untuk melakukan sebuah festival kostum liar tepat sebelum hari pertama puasa (menyingkirkan daging). Agama Katolik menganjurkan untuk tidak makan daging selama Prapaskah. Seiring waktu berlalu, karnaval di Italia menjadi cukup terkenal, dan pada kenyataannya praktek kegiatan tersebut menyebar ke Perancis, Spanyol, dan semua negara-negara Katolik di Eropa, dan kemudian menyebar ke bagian lain dunia seiring dengan perjalanan kolonialisasi yang dilakukan hingga masuk ke wilayah Karibia.

Wilayah Karibia atau sering disebut Hindia Barat merupakan wilayah yang sangat terkenal dalam catatan perjalanan kolonialisme. Pada awal abad ke-17, Karibia menjadi medan tempur bagi bangsa-bangsa yang mencari kejayaan. Bangsa Spanyol, Perancis, Inggris, dan Belanda berperang memperebutkan kepulauan yang mereka sebut sebagai Hindia Barat. Kesuburan wilayah Karibia merupakan alasan utama hadirnya koloni, tetapi minimnya tenaga pekerja yang dapat menggarap lahan menjadi alasan utama terjadinya perbudakan di wilayah Karibia. Impor pekerja budak dari Afrika Barat menjadi jalan keluar untuk mengatasi terbatasnya pekerja.

Perkebunan tebu yang dimiliki oleh orang Eropa biasanya mencakup lahan yang sangat luas. Terbentuk segitiga perdagangan, yaitu barang-barang dari Eropa dibawa ke Afrika Barat, kemudian budak dari Afrika Barat dibawa ke Karibia, dan akhirnya hasil perkebunan dibawa pulang ke Eropa. Orang Eropa tidak merasa bersalah menggunakan orang Afrika sebagai budak. Orang Afrika dapat dibeli murah, dijejalkan ke dalam kapal, dan kemudian dijual kepada para pemilik perkebunan. Dua pertiga di antaranya mati dalam perjalanan atau karena penyakit, perlakuan buruk, dan kerja yang berlebihan. Meski demikian, pada tahun 1800, terdapat lebih dari sembilan juta budak Afrika di Karibia.

Kehadiran budak Afrika di Karibia tentunya menimbulkan persinggungan budaya yang menarik. Tradisi carnevale yang dibawa oleh Bangsa Eropa bercampur dengan bermacam teks lain yang ada di Karibia. Percampuran budaya yang terjadi pada wilayah koloni membawa ketegangan antara penjajah dan terjajah yang disebut hibriditas (Babha, 2004). Hibrid secara teknis dipahami sebagai persilangan antara dua spesies yang berbeda. Dalam hal ini, hibriditas mengacu pada pertukaran silang budaya. Hibriditas mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya berbeda, yang suatu saat akan menghasilkan pembentukan budaya-budaya dan identitas-identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual sendiri.

Teks budaya Afrika secara perlahan mempengaruhi bentuk dari perayaan carnevale. Bangsa Afrika memiliki kebiasaan dan meyakini mengelilingi desa dengan menggunakan kostum dan topeng pada masa tertentu dapat membawa keberuntungan, mengatasi masalah, dan juga mengantar arwah orang meninggal untuk masuk ke dunia berikutnya. Kostum dan topeng yang mereka gunakan untuk mengelilingi desa dibuat dari bahan yang diambil dari alam, sesuai dengan kepercayaan spiritual yang diyakini. Karnaval atau carnevale akhirnya meminjam tradisi Afrika dengan menyusun benda-benda alam (tulang, rumput, manik-manik, kerang, kain, bulu). Bulu-bulu yang sering digunakan oleh orang Afrika pada hiasan kepala dipercaya sebagai simbol dari kemampuan manusia untuk bangkit dari permasalahan dalam hal ini perbudakan salah satunya. Dan akhirnya, bulu-bulu banyak digunakan dalam menciptakan kostum karnaval. Tarian dan musik tradisi Afrika menjadi bentuk baru dalam perayaan karnaval, seperti alunan samba dan penari jalanan mulai menghiasi sebuah tampilan perayaan karnaval.

Hibriditas dapat dilihat pada pengadopsian bentuk-bentuk kebudayaan seperti pakaian, makanan, dan sebagainya. Akan tetapi, hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian pada produk-produk perpaduan budaya itu sendiri, tetapi lebih kepada cara bagaimana produk-produk budaya ini ditempatkan dalam ruang sosial dan historis di bawah kolonialisme menjadi bagian dari pemaksaan penolakan hubungan kekuasaan kolonial (Moore-Gilbert,2000). Karnaval yang hadir di Karibia merupakan ruang liminal persinggungan budaya yang terjadi antara penjajah dan terjajah. Tradisi prapaskah yang dibawa bangsa Eropa berpadu dengan ritus pembebasan masalah yang dilakukan budak Afrika dengan berarak memainkan musik dan tari berhiaskan bulu-bulu menjadi identitas baru samba dalam karnaval.

Karibia sebagai segitiga perdagangan antara Afrika-Karibia-Eropa, membuat karnaval sebagai produk budaya hibrid tak berhenti di wilayah ini saja. Kondisi perdagangan yang dinamis membuat karnaval ikut menyebar ke berbagai wilayah sekitaran Karibia seperti Trinidad, Brazil, Venezuella, hingga New Orleans Amerika. Tak hanya itu migrasi para budak ke Eropa membuat karnaval hadir di Nottinghill Inggris, dan tentu saja dalam sajian yang berbeda.

Sebagai budaya hybrid karnaval mengalami adaptasi disetiap ruang. Brazil misalnya, karnaval Rio de Janeiro merupakan karnaval terbesar di dunia, karena mampu menghadirkan dua juta orang perhari selama seminggu. Dalam karnaval ini pengunjung bisa menyaksikan aneka atraksi sirkus, pawai kostum, dan aksi menawan tari Samba yang diperagakan perempuan-perempuan Brasil yang cantik dan seksi. Yang paling menjadi sorotan dalam karnaval ini tentu adalah aksi para penari perempuan yang menampilkan kostum minim, unik, namun penuh warna-warni dan aksesoris mewah nan glamour. Mereka berlenggak-lenggok eksotis mengikuti iringan samba. Mereka memang sengaja memamerkan kemolekan tubuh dengan hanya memakai kostum mirip bikini yang hanya menutupi payudara dan alat kelamin. Boleh jadi karnaval ini merupakan karnaval perayaan kebebasan tubuh tervulgar yang dipertontonkan di jalanan.

Kemolekan Tubuh Penari Samba (Foto: http://static3.demorgen.be)

 

Karnaval di Mardi Gras di New Orleans sudah ada sejak tahun 1730, tapi dalam bentuk pesta dansa. Kemudian pada tahun 1830 karnaval mulai berubah menjadi bentuk arak-arakan berkostum warna emas, ungu, dan hijau. Pada tahun 1872, karnaval ini ditambah dengan kehadiran seorang raja karnaval yang dimitoskan bernama Rex. Dalam karnaval ini, banyak manik-manik berwarna-warni dan koin bergambar wajah Rex yang dilemparkan ke sekeliling kota oleh peserta karnaval. Masyarakat percaya, koin tersebut membawa keberuntungan jika berhasil mendapatkannya.

Selain manik-manik dan koin, Mardi Gras juga memiliki tradisi lain yaitu king cake atau kue raja. Kue ini terbuat dari roti donat besar yang sederhana bertabur gula berwarna khas Mardi Gras yakni, hijau, emas, ungu dan berisi sebuah boneka bayi kecil. Keberuntungan akan diperoleh apabila berhasil mendapatkan potongan kue berisi bayi. Tak hanya itu karnaval Mardi Gras banyak menggunakan topeng dalam parade nya, hal ini berawal dari dilarangnya masyarakat budak (kulit hitam) mengikuti pesta, dan kemudian mereka (budak) mengikuti karnaval dengan menggunakan topeng sehingga tak tampak warna kulitnya. Sampai kini topeng menjadi identitas karnaval Mardi Gras.

 

Raja Rex dalam Mardi Gras Carnival (Foto: www.history.com)

Notting Hill sebuah wilayah di sudut Barat London, memiliki sejarah kelam dengan munculnya kerusuhan rasial pertama di Inggris tahun 1950-an. Kehadiran bangsa kulit hitam di wilayah ini tidak terlepas dari sejarah kolonial Inggris di Karibia. Sekitar 30 tahun lalu warga Karibia di Inggris merayakan kebebasannya dengan berkanaval hingga saat ini. Lebih dari 12.000 polisi berjaga saat event ini berlangsung. Karnaval Notting Hill yang kini termasuk karnaval terbesar di Eropa menghadirkan parade jalanan musik dan tarian, penjualan makanan dan street trading lainnya. Setiap orang dapat berpartisipasi dalam acara ini dengan turut menjual kerajinan tangan, home made cookies, parade kostum ataupun street band. The Notting Hill Carnival membuka pintu bagi semua pengunjung termasuk turis, seperti mottonya yaitu: Every Spectator is A Participant Carnival is for all who dare to participate

Notting Hill Carnival (Foto: http://2.bp.blogspot.com)

Kritikus sastra Rusia Mikhail Bakhtin menelurkan satu konsep penting mengenai karnaval, yang belakangan banyak dipakai untuk memahami budaya tanding (counter-culture) dan infra-politics. Apa yang terjadi di Notting Hill dapat menjelaskan budaya tanding yang terjadi. Represi terhadap minoritas warga Karibia di London membuat karnaval hadir sebagai alat perlawanan. Konsep karnaval bergerak pada tataran simbolik sehingga tidak berkaitan langsung dengan politik formal. Di masyarakat Eropa abad pertengahan, sebenarnya ada sebuah acara rutin dimana seluruh relasi kuasa yang normal dibalik begitu saja melalui pesta rakyat, parade, sirkus, dan lain sebagainya. Dalam kesempatan itu, mereka dibiarkan mengejek raja dan pemuka gereja, memparodikan ritual-ritual misa dan istana, dan sebagainya.

Meski demikian, ada beberapa hal yang patut dicermati lebih lanjut menyangkut penarikan konsep karnaval ke dalam kajian budaya tanding yang mengasumsikan bahwa karnaval memiliki potensi subversif membalik relasi kuasa. Tidak boleh dilupakan jika karnaval merupakan suatu ruang dan momentum yang memberi bentuk pada aksi simbolik dan bukan isi dari aksi itu sendiri. Artinya, jika merujuk pada penjelasan Bakhtin tentang budaya tawa yang sudah ada sebelum dan terepresi oleh budaya resmi, karnaval sekadar memberikan kesempatan penyaluran represi secara kolektif dimana tidak ada perbedaan antara aktor dan penonton (semuanya merupakan subjek yang terlibat aktif dalam ritual). Inilah yang membedakan karnaval dengan aksi individual biasa, atau bahkan satir yang berlangsung searah dan dalam ruang privat (Hirschkop,1989). Karnaval akhirnya bersifat kosmopolitan di setiap ruang yang menaunginya. Penyesuaian dengan budaya lokal membuat karnaval hadir dalam identitas yang berbeda. Persinggungan budaya merupakan reaksi wajar dari dinamisasi masa.

 

Menisbikan Berbagai Batas

Sejarah perjalanan karnaval memperlihatkan pertautan dengan dimensi ruang yang melingkupinya. Indonesia sebagai sebuah negara multietnis juga memiliki sejarah karnaval dalam bentuk berbeda. Dalam acara kenegaraan, pada perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus, Jakarta selalu menyelenggarakan gelar budaya Nusantara (karnaval). Kegiatan ini selalu menampilkan bentuk-bentuk kesenian dan budaya dari setiap provinsi di Indonesia. Karnaval Agustus-an di Jakarta dan mungkin di beberapa wilayah Indonesia memberikan suatu penanda sebuah kebebasan negeri atas represi lampau yang berbentuk imperialisme. Pada sebelum tahun 90-an masih banyak terlihat drama-drama yang memperlihatkan bambu runcing, tentara Belanda, dan pekik “merdeka”. Akan tetapi pada masa ini hal-hal semacam itu tidak lagi menjadi ikon dalam karnaval 17-an Agustus. Para peserta lebih banyak menyajikan bentuk-bentuk kesenian yang berupaya semakin memperlihatkan jatidiri wilayah. Ada suatu orientasi yang lebih menjurus pada orientasi ke-lokal-an atau mungkin juga “indigenisasi” (pembumian; meminjam istilah Geertz, 1999; 86).

Namun apa yang digagas oleh Dynand Fariz nampaknya lebih dari sekedar meneruskan sebuah karnaval yang telah berevolusi menjadi tontonan di bulan Agustus. Satu hal ia telah mendekonstruksi Jakarta sebagai wilayah pusat mode dan pusat perhelatan dalam skala nasional. Sampai saat ini karnaval budaya dan karnaval memperingati hari kemerdekaan selalu diselenggarakan di Jakarta. Demikian juga dengan pertunjukan-pertunjukan musik maupun fashion yang menghadirkan “bintang-bintang” dari penjuru dunia. Masyarakat di luar Jakarta hanya bisa menyaksikan pertunjukan itu melalui layar televisi yang disiarkan secara nasional. Dikotomi sentral-periferal menjadi keabsahan untuk menjadikan yang periferal hanyalah penonton pasif, terbelakang, temaram, dan lain sebagainya. Pusat cahaya selalu ada di “pusat”. Hal ini nampaknya telah digugurkan oleh Dinand Fariz dengan JFC. Jember secara tiba-tiba memancing perhatian khalayak nasional bahkan internasional. Satu hal lagi, para peserta fashion dalam JFC bukanlah para bintang dalam dunianya. Mereka orang kebanyakan yang tidak dibebani persyaratan-persyaratan cantik, putih, semampai, demikian pula tidak harus ganteng dan macho untuk yang lelaki. Siapapun bisa menjadi peragawati atau peragawan dan bebas berekspresi. JFC juga memberikan makna yang berbeda dalam tradisi karnaval di Indonesia. JFC tidak berkeinginan untuk menghadirkan sebuah kemegahan sebuah karnaval kebangsaan, atau juga bukan menjadikan karnaval sebagai bagian dari prosesi sakral keagamaan, akan tetapi lebih pada kemeriahan hiburan.

Gagasan Dynand Fariz menjadikan jalan raya sebagai catwalk adalah perlawanan atas kelaziman sebuah fashion show. Dalam rentang sejauh 3,5 kilometer peserta JFC berjalan dengan pakaian yang “ditawarkannya”. Mereka layaknya peragawati/peragawan yang berjalan di depan para penonton dari segala lapisan. Tidak ada batas umur maupun batasan sosial. Peristiwa fashion show menjadi milik masayarakat. Sebuah terobosan yang sangat dekonstruktif mengingat kebiasan peragaan busana biasanya menjadi milik kalangan tertentu. JFC dalam hal ini menjadi kabur batasannya apakah merupakan bagian dari karnaval ataupun sebuah peragaan busana.

Kehadiran JFC yang muncul tanpa narasi kesejarahan ditengarai sebagai gejala postmodernisme. Postmodern dipahami sebagai penolakan terhadap absolutisme filsafat Barat dan sistem pemikiran tunggal (grand narasi). Beberapa masalah pokok yang dikaitkan dengan postmodernisme dalam bidang seni antara lain hilangnya batas-batas sekaligus hierarkhi antara budaya elite dan budaya populer, budaya tinggi dengan budaya massa (Kutha Ratna, 2007; 91). JFC sebagai produk budaya tanpa sejarah mengisyaratkan pembacaan teks yang dekonstruktif. Dekonstruksi menurut Jacues Derida (tokoh postmodern) adalah suatu cara membaca teks secara interpretatif atau katakanlah secara hermeunetik dengan cara radikal. Namun berbeda dengan heurmenetik “normal” yang mencoba merekonstruksi kembali isi asli sebuah makna, dekonstruksi justru mengandaikan ketidakhadiran makna primordial (Budi Hardiman, 2007; 163). Dekonstruksi bukan semata-mata pembalikan strategi, melainkan juga sebagai aktivitas pembacaan, teks harus dibaca dengan cara yang sama sekali baru, sebagai pembacaan politis (Kutha Ratna, 2007; 136).

 

Tubuh dan Ruang dalam Persilangan Sejarah

Dalam presentasi JFC, Dynand Fariz sebagai tubuh menggoreskan sejarahnya sendiri. Ini dapat dilihat atas usahanya melakukan pembacaan ulang atas tradisi karnaval di Indonesia dengan sebuah upaya dekonstruksi. Kemudian dalam pencarian bentuk presentasi, intertekstualitas dijadikan sebagai dasar pijakan. Jika melihat fenomena ketiadaannya batas segmentasi ataupun stratafikasi seni, maka fenomena JFC berelasi sepenuhnya dengan wacana postmodernisme.

Karnaval hadir dalam bentuk yang berbeda disetiap ruang. Narasi sejarah tubuh dan ruang menjadi determinan penting dalam membentuk identitas karnaval. Brazil merayakan kebebasan tubuh dalam berekspresi, Mardi Gras menghadirkan demitefikasi raja Rex, Notting Hill membalik relasi kuasa, dan Jember membaca ulang teks-teks yang ada. Semua untuk karnaval yang meriah dan megah. (Citra Aryandari, 2014)

 

Daftar Pustaka

 

Homi K. Babha. The Location of Culture. New York: Routledge, 2004.

 

Cliford Geertz. After the Fact Dua Negeri Empat Dasa Warsa Satu Antropolog. Yogyakarta:LKiS, 1999.

Bart Moore-Gilbert. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics. London: Verso, 2000.

  1. Budi Hardiman. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Ken Hirschkop. Bakhtin and Cultural Theory. Manchester: Manchester University Press,1989.

Nyoman Kutha Ratna. Estetika Sastra dan Budaya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

 

 

Tentang Penulis

Citra Aryandari was born in Yogyakarta on 25th July 1979. She received her Ph.D in Performance Arts and Visual Arts Studies, School of Graduate Studies, Gadjah Mada University (2012). She had attended Mythology class on the School of Divinity, History, and Philosophy at Aberdeen University, UK (2010). She is a lecture at the Department of Ethnomusicology, Indonesian Institute of Arts Yogyakarta. Her research interest include Performance Studies, Cultural Studies, Urban Culture and Society, Hindhuism Mythology, and Anthropology Visual. She is author of a number of articles, documentary films and book such as Waljinah: Melihat Perempuan dalam Jejak Walangkekek (2008); Musik Determinan Spiritual dalam Mekare-kare (2009); Fight for God (2010); Gringsing: Jalinan Estetika-Mitos Ritus Perang Pandan (2011); Dewa dalam Tenunan Ritus Sambah (2012); Kuasa Indra: Mite dan Demitefikasi dalam Seni (2013); Kembalinya “Laki-Laki” dalam Panggung Pertunjukan Bali (2013); Wheres Lakshmi?: Indian Culture Overseas at Depavali Rite on South East Asia (2013); Bamboo: The Melody Surrounding Jogja (2014); Dancing Together, Writing Forever (2014); Fatamorgana Tionghoa: Dari Kuliner, Seni hingga Politik (2014)

Email  : citrasudarmanto@yahoo.com

Web    : www.citraaryandari.com