Kuasa Indra, Mite & Demitefikasi Dalam Seni

Kuasa Indra:Mite dan Demitefikasi dalam Seni
Oleh: Citra Aryandari
A. Realita di sebuah ruang mite

Siang hari, saat matahari tepat di atas kepala, suara gamelan Selonding mewarnai riuhnya ritus yang dihadiri segenap warga dan turis di Tenganan Pegringsingan. Gending geguron pun ditabuh, dan Truna bak penjaga ritus langsung mengingatkan agar hadirin tidak merekam lantunan musik yang dianggap sakral tersebut. Geguron merupakan gending sakral yang ditabuh pada saat upacara akan dimulai. Ini merupakan sebuah undangan kepada Dewa untuk hadir dalam ritual. Seorang turis yang juga seorang peneliti budaya, diam-diam menyalakan alat perekam di dalam tasnya. Sebuah fenomena menarik dalam realitas hubungan antara objek dan subjek. Sang Truna bertugas menjaga kesucian ritus, meski tak sepenuhnya memilah yang sakral dan yang profan secara gamblang.  Gamelan Selonding merupakan alat musik peninggalan sejarah dari kegiatan berkesenian nenek moyang di masa silam. Gamelan ini tumbuh, hidup dan berkembang sebagai kultur religius yang banyak terdapat di pusat-pusat keagamaan pada zaman Bali Kuno. Di Tenganan Pegringsingan, gamelan ini mendapat tempat yang paling sakral dalam upacara agama. Mite kehadiran sang Dewa Ida Bagus Selonding membentuk makna dalam jiwa secara tak sadar. Begitu pula sang turis, mite yang hidup di ruang tersebut tak lekat dengan tubuhnya hingga tak ada ragu untuk tidak menganggap himbauan Truna, atau mungkin baginya mite hanyalah sebagai cerita isapan jempol belaka. Selain kisah tamu yang diam-diam menyalakan alat perekam, kisah lain terjadi ketika di malam hari, segenap warga mengenakan tenun gringsing yang sakral dengan sejumlah emas yang berkilau dalam ritus Mulan Saat. Mulan Saat hanya dilakukan sekali dalam satu tahun. Ini yang menjadikan ritus Mulan Saat dinanti di benak setiap warga, di tengah temaram purnama, Krama Desa menarikan abuang. Malam itu hadir seorang designer top ibukota Ghea Panggabean beserta sosialita untuk melihat ritual dan berfoto dengan segenap warga. Agenda ritual di Tenganan Pegringsingan secara terbuka dapat diakses oleh seluruh orang di dunia. Hal ini karena Tenganan mulai membuka diri dengan pariwisata. Ritual yang dilakukan dalam setahun dianggap sebagai pagelaran yang dapat ditonton siapapun. Ghea hadir dengan mengenakan sutra gringsing (bukan tenun gringsing) pada saat ritus Mulan  Saat berlangsung. Sutra gringsing tampak begitu mewah karena kilaunya yang berbeda dengan tenun. Sekilas mata memandang kain yang dikenakan Krama Desa dan Ghea adalah sama, karena berwarna dan bermotif serupa. Tapi milik Ghea lebih berkilau karena menggunakan raw material yang berupa sutra bukan tenun. Semua Krama Desa melihat sutra yang berkilau dan menyambut dengan senyum tanpa kita tahu makna di sebalik itu jika tidak secara detail mengamatinya. Malam sangat temaram, namun dari perbincangan ada beberapa warga yang kurang berkenan dengan hadirnya sang designer berbusana gringsing sutra itu. Grinsing bagi mereka adalah jatidiri, bagian dari tubuh dalam ritus. Gringsing telah mereka jaga sekian waktu dan orang luar Tenganan seringkali memberikan narasi mistis. Warna merah pada gringsing dianggap berasal dari darah manusia. Sebuah narasi yang memberikan stigma “kepurbaan” yang justru semakin menghidupkan mite. Adakah ini menyudutkan? Lalu dalam konteks kehidupan, narasi ini bukankah memancing sebuah pandangan hidup yang spesifik dan menyiratkan kuasa mitos dalam masyarakat tertentu? Penyebaran  ini justru biasanya dilakukan oleh orang luar Tenganan Pegringsingan.
B. Kuasa Indra di Tenganan Pegringsingan

Tenganan Pegringsingan adalah sebuah desa yang memiliki tata kehidupan upacara yang sangat spesifik. Masyarakat Tenganan Pegringsingan menyebut diri mereka sebagai warga Bali Aga yang nenek moyangnya langsung berasal dari India. Mereka bukan keturunan orang-orang Jawa (dari kerajaan Majapahit) yang eksodus ke Bali ketika kerajaan besar itu menghadapi keruntuhannya karena pengaruh terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa. Dengan asal-usul yang diyakini seperti itu, masyarakat asli Tenganan Pegringsingan percaya bahwa agama mereka langsung berasal dari India. Dalam ajaran dan upacara keagamaannya mempunyai beberapa perbedaan dengan ajaran dan upacara Hindu Dharma di Bali pada umumnya. Perbedaan itu antara lain, mereka tidak mengenal ngaben (pembakaran mayat), tidak mengenal kasta, mengakui kesamaan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam beberapa posisi dan struktur sosial. Tenganan Pegringsingan, sampai saat ini tergolong masih cukup berhasil menjaga keaslian budayanya. Ketaatan masyarakat pada aturan tradisional desa yang diwariskan nenek moyang mereka secara turun-temurun menjadi sebuah benteng kokoh dari pengaruh kebudayaan lain dalam hal ini Bali Majapahit yang menjadi kelompok mayoritas saat ini di Bali. Mite yang berkembang di Tenganan  Pegringsingan memang sangat kuat. Pemujaan terhadap Dewa Indra menyimpan kisah unik setidaknya di lingkungan masyarakat Tenganan. Merujuk mitologinya, asal-usul desa Tenganan Pegringsingan mengisahkan Dewa Indra mengalahkan Mayadenawa, kemudian untuk memperingati kemenangannya akan dikurbankan seekor kuda yang bernama Oncesrawa. Sebelum dikurbankan kuda lari, maka disuruhlah orang-orang Paneges dari kerajaan Bedahulu mencarinya. Kuda diketemukan telah mati, dan akhirnya Dewa Indra memberi hadiah kepada orang Paneges tanah seluas bau bangkai kuda. Bau bangkai kuda menjadi sebuah tanda imajiner pembatasan sebuah ruang. Tanda imajiner diibaratkan sebuah benteng yang menyiratkan kekuasaan Indra. Tidak hanya itu, mite yang hadir di Tenganan menjadi sebuah acuan segenap warga menjalankan hidupnya. Mite hadir selalu berkaitan dengan serangkaian tindakan pengaktifan kembali secara ritual dalam rangka menghidupkan makna, atau roh, atau perilaku yang terkandung dalam mite itu ke dalam jiwa dan benak setiap warga Tenganan. Di sini ada asumsi bahwa di dalam mite ada makna, atau roh, atau contoh perilaku yang vital bagi kehidupan. Eliade menyatakan mengaktifkan mite dalam bentuk ritual sama dengan mengaktifkan makna, atau roh atau perilaku yang berguna bagi kehidupan, baik dalam hubungannya dengan kekuatan alam yang lebih besar atau dengan manusia yang lain.   Mite yang hidup di Tenganan menjadi teks yang penting untuk mengungkap perilaku masyarakat. Apa yang menjadi esensi dari mite? Esensi dari mite adalah cerita.  Sebagian orang mendefinisikannya sebagai cerita isapan jempol, namun sebagian lagi dapat mencermatinya sebagai sebuah entitas yang hidup dan mampu mengkomunikasikan berbagai hal bernilai. Dalam keseharian masyarakat Tenganan Pegringsingan menghadirkan aksi dengan sejumlah narasi yang mengisahkan kuasa Indra yang menjadi acuan. Seperti misalnya dalam Usaba Sambah. Setiap kegiatan atau tindakan yang dilakukan selalu memiliki narasi yang berkait dengan mite. Sebagai contoh saat warga desa melakukan perang pandan atau mekare-kare, hampir seluruh warga menyatakan bahwasannya ini merupakan aktivitas untuk memuja Dewa Indra, sebagai sosok yang telah berkorban demi seluruh umat manusia. Indra sebagai seorang dewa yang dipuja menjadi sangat layak mendapatkan tetesan darah dari tubuh satria Bali Aga. Para satria yang berperang seolah menjadi sosok Indra yang gagah perkasa. Menghayati peran sebagai sosok dewa Indra dan merasakan mengalahkan Mayadenawa dihadirkan dalam benak seluruh Truna yang berlaga, sehingga darah menetes menjadi suatu kebanggaan. Mite atau mitos adalah hal yang akrab dengan kehidupan manusia. Mite menyiratkan adanya suatu entitas yang hidup dalam alam bawah sadar kolektif manusia. Ketaksadaran kolektif adalah semacam ‘alam yang dimiliki bersama’ dari segenap manusia di muka bumi. Ada sesuatu yang tak disadari tetapi menghubungkan umat manusia di muka bumi ini. Ketaksadaran kolektif berisi timbunan dari akumulasi tema-tema yang berlangsung sepanjang zaman. Beberapa tema berkonstelasi membentuk arketipe yang manifes dalam simbol-simbol.
C. Mite dalam kancah Intertekstualitas

Selain gamelan Selonding ada tenun ikat gringsing telah menjadi representasi dari mite yang sekian waktu dipercaya hingga kini. Gringsing yang selalu memiliki makna sakral bagi warga Tenganan dipercaya mampu mengusir penyakit dan rasa sakit. Tenun  gringsing yang indah, selain menjadi pewarisan tradisi juga menjadi keharusan untuk dipakai oleh masyarakat Tenganan Pegringsingan dalam beberapa ritual penting. Menenun gringsing yang sakral, tentunya sangat memperhatikan aturan yang sudah diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur. Kerumitan untuk membuat sebuah tenun gringsing, baik dilihat dari teknik, waktu, serta aturan adat yang membelenggu membuat tenun ini memiliki nilai luar biasa khususnya bagi warga Tenganan. Jalinan antara estetika dan mite yang direpresentasi, membuat gringsing bernilai tinggi. Hanya pada ritual tertentu tenun gringsing dikenakan dalam keseharian masyarakat Tenganan. Kini  gringsing  tak lagi hadir berupa tenun yang bernilai sakral. Gringsing berupa kain sutra pun dapat dijumpai. Sutra gringsing dalam berbagai motif dapat dibeli dengan harga yang terjangkau. Tentu saja beda dengan tenun gringsing yang harganya mencapai jutaan rupiah. Saat ada seseorang yang “jatuh cinta” dengan estetika gringsing dalam jalinan mite sehingga mengeksplorasi tenun dalam bentuk kain sutra bermotif gringsing. Alasan untuk menjaga tradisi tampak ambigu dalam masyarakat Tenganan Pegringsingan yang begitu hebat menjaga awig-awig. Tenganan adalah cerita tentang masyarakat yang terus berjuang mempertahankan identitas yang mereka banggakan sebagai orang Bali asli. Karena gringsing begitu penting dalam kehidupan masyarakat Tenganan, tenun ini seperti cermin perjalanan kehidupan masyarakat setempat. Postmodern memberi peluang untuk melakukan segala hal. Kristeva bercerita dengan interteks, hadirnya teks di dalam sebuah teks. Transformasi teks dimungkinkan terjadi, dari selembar tenun menjadi selembar kain sutra. Peneladanan motif menjadi tak terelakkan, sekilas tampak seperti plagiat ketika motif gringsing hadir dalam selembar kain sutra berwarna merah darah. Tetapi perlu disadari bahwa motif ini merupakan sebuah teks yang menarik ketika menjalin kisah dengan kain sutra yang begitu mewah. Mite yang hidup dalam tenun gringsing tak lagi bermakna sama dengan selembar kain sutra gringsing. Demitefikasi tidak dapat dipungkiri. Pengertian makna sebuah kisah menjadi jurang pemisah antara designer dan pemilik tenun gringsing. Sutra gringsing merupakan jawaban atas nama cinta warisan budaya bagi sang designer. Sutra gringsing hadir sebagai kemewahan metropolis di tengah kearifan lokal yang membumi.  Proses demitefikasi melibatkan soal pemahaman seseorang kreator (Ghea) terhadap tenun gringsing (teks asal). Proses demitefikasi menyebabkan terjadinya pertentangan  makna antara designer dan pemilik budaya. Bentuk penentangan terhadap hipogram memerlukan pengertian mendalam dan tinggi terhadap ide sebelumnya. Meskipun berlaku pertentangan ide, karya teks asal masih lagi menjadi sari dan masih menjadi subjek utama karya teks yang baru. Pertentangan ide ini adalah perkara biasa antara manusia yang masing-masing memiliki ide tersendiri dan mempunyai alasan-alasan tertentu untuk kebaikan karya masing-masing. Seperti masyarakat Tenganan Pegringsingan yang masih menganggap sakral tenun gringsing karena jalinan estetika dan mite yang diagungkan, juga seorang Ghea Panggabean yang ingin melestarikan motif gringsing dengan memproduksi secara masal dalam material yang berbeda tanpa memperhatikan makna yang terkandung dalam tenun.  Ini sesuai dengan postulat Adorno yang menyatakan bahwa produksi budaya massa akan menstandarisasikan karya seni yang bersifat unik dengan reproduksi yang berulang, dan akhirnya menghilangkan aura aslinya.
D. Mite dan Pencitraan

Mite kuasa Indra bersumber pada pendongeng yang digerakkan oleh kobaran fantasi-fantasi masyarakat Tenganan Pegringisingan. Kuasa Indra menjadi sebuah benteng yang kokoh bagi kehidupan spiritual di Tenganan Pegringsingan. Sejumlah tindakan dikonstruksi untuk melanggengkan kuasa mite. Mite diolah pada level kesadaran diri yang memungkinkan manusia untuk mengeksplorasi hal-hal yang mampu memberikan kepada manusia pandangan hidup yang lebih ekspansif. Dalam ranah kontemporer yang lebih luas, seni menjadi media yang sebenarnya sangat bermakna dalam penyebaran mite. Mite tidak hanya hadir dalam sebuah narasi fiksional akan tetapi juga telah dieksplorasi dalam bentuk lain. Tak hanya pemilik budaya yang melakukan transformasi tersebut, tetapi  penonton atau penikmat juga memiliki hasrat kesenangan naratif akan mereproduksi kembali mite tersebut dalam ruang-ruang lain. Reproduksi ini hadir dalam beberapa bentuk, baik yang meneladani atau menentang mite, dan tentu saja ini akan membuat mite akan selalu hidup dan terus bergulir. Mite melanggengkan kondisi kebatinan masyarakat kini dengan masa lalu yang tidak terjamah. Tanpa sadar mite dirindukan sekaligus digugat. Sementara karya seni menjadi pilihan bahasa perhelatan dualitas ini.

Daftar Bacaan

Eliade, Mircea. Myth and Reality dalam Robert A.Segal (ed.)        The Myth and Ritual Theory .Oxford: Blackwell,2004.

Geertz, Clifford. After The Fact, Yogyakarta: LKIS,1998.

Geertz,Clifford. Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992.

James Danandjaya. Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng,          dan lain lain (Cet. VII). Jakarta: Grafiti,2007.

Jung, C.G.  Man and His Symbols, USA: dellbooks,1968.

Heddy Shri Ahimsa-Putra. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, Yogyakarta: Kepel Press, 2006.

Kornl, V.E. The Village Republic Of Tenganan Pegringsingan. Santpoort: The Liefrinck-Van der Tuuk Foundation, 1933.

Kristeva, Julia. Desire in Language: a Semiotic Approach to Literature and Art. Columbia: Columbia University Press, 1980.

Adorno, Theodor. Aesthetic Theory. London & New York: Routledge & Kegan Paul, 1984.

3 thoughts on “Kuasa Indra, Mite & Demitefikasi Dalam Seni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *