Pasar Musik Tradisional

Pasar Musik Tradisional

Oleh: Citra Aryandari*

 

 

Bicara musik tradisional, bayangan kita selalu tertuju pada musik yang dimainkan dengan gamelan dan instrumen etnis nan eksotis. Genre yang dimainkan tidak menjadi patokan utama untuk menentukan apakah musik tersebut tergolong tradisional. Media (instrumen) adalah parameternya, bukan genre dan bangunan musik secara keseluruhan. Akhirnya, sering kita jumpai pementasan musik dengan mencampur berbagai instrumen etnis (world music) dalam panggung pertunjukan lingkup nasional maupun internasional.

Secara kuantitas, jumlah perhelatan musik tradisional di tanah air masih sangat terbatas dibanding dengan pertunjukan musik populer. Meskipun dalam perbincangan sehari-hari musik tradisional digaungkan secara berlebihan sebagai produk kearifan lokal, pada kenyataannya musik tradisional merangkak untuk bersaing dengan musik populer. Agar dapat diterima masyarakat luas, musik tradisional harus menghadapi kontestasi yang tidak mudah dengan musik populer.

Kata tradisional dalam kamus bahasa Indonesia disepakati sebagai sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun. Ini berarti musik tradisional dapat dipahami sebagai musik yang lahir dan berkembang di suatu daerah tertentu dan diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Ini kemudian menjadikan musik tradisional cenderung bersifat ekslusif. Artinya, musik tradisional hanya dapat dinikmati oleh pemilik sebuah komunitas, dan sulit dinikmati secara luas oleh masyarakat di luar kebudayaan yang melahirkan musik tersebut. Menjadikan musik tradisional dapat diterima secara utuh di pasar global adalah ekspektasi berlebih, bak punguk merindukan rembulan.

Pemahaman akan musik tradisional pun akhirnya lebih dihayati sebagai penggunaan alat musik nan eksotis, belum pada tataran komposisi, makna dan fungsi musik tradisional yang terkandung di dalamnya. Diperlukan kerja ekstra untuk mengenalkan musik tradisional kepada masyarakat pemilik dan non pemilik.

Pemerintah kemudian merasa berkepentingan untuk menjaga kelestarian musik tradisional sebagai identitas bangsa yang majemuk dan terbayang. Sehingga sekian proyek dianggarkan setiap tahun untuk menjaga eksistensi musik tradisional di tengah gempuran musik populer yang kian beragam.

Sejumlah pelaku/seniman dipilih untuk menyukseskan pagelaran yang disponsori pemerintah, tetapi tetap saja tidak mampu menampung semua musisi tradisional, mengingat nusantara yang multikultural. Akhirnya hanya segelintir dari banyak musik tradisional nusantara yang terekspos di berbagai pagelaran tersebut. Sisanya, tidak sedikit musik tradisional yang mati suri, menunggu sang maecenas menyapa untuk memberi setetes harapan.

Di tengah industri permusikan Indonesia yang tengah lesu karena gempuran arus teknologi yang ditandai ditutupnya major label, menambah persaingan dunia ini semakin gesit. Pagelaran musik mau tak mau harus selalu menggaet rekanan untuk kerjasama yang saling menguntungkan. Musik popular setidaknya mampu membentuk kekuatan sosial dan nilai budaya baru (David Hesmondalgh, 2002) yang memberi benefit yang menarik bagi hegemoni yang menaunginya. Sedangkan, musik tradisional memerlukan ‘maecenas-maecenas’ (Umar Kayam, 1981) sebagai sesuatu yang memberikan perhatiannya terhadap kesenian dan kemurahan hatinya kepada seniman.

Keraton adalah contoh maecenas. Selama ini keraton dinilai sebagai lambang kedermawanan dan perlindungan terhadap kehidupan kesenian di Jawa. Di istana-istana raja, bangsawan dan kaum agamawan, juga gereja-gereja berbagai hasil kesenian diperkenalkan, dipamerkan, didengarkan, dibeli, disimpan. Di tempat-tempat itu pula seniman-seniman diperkenalkan, dipuji, dicaci, didorong, dihadiahi dan dihukum. Keraton adalah maecenas yang memiliki kekuasaan absolut menghegemoni bagaimana laku dan tindakan seniman dalam berkarya. Seniman kemudian sangat bergantung pada kemurahan hati keraton (maecenas) agar kehidupan keseniannya tetap lestari.

Seiring perkembangan zaman, model pemerintahan feodal ala keraton mulai tergantikan sistem konstitusional negara. Kemudian muncul pola pengaturan masyarakat dan dengan demikian juga kekuasaan dan kekayaan, fungsi maecenas itu langsung dimainkan oleh lembaga-lembaga pemerintahan atau umum.

Pemerintah adalah maecenas dalam bentuk kekinian. Pengadaan pagelaran musik tradisional biasanya sangat bergantung pada program-program dan sumber dana pemerintah. Sokongan swasta/sponsor biasanya agak sulit didapatkan karena sifat musik tradisional yang terkesan ekslusif. Seniman musik tradisional di masa kini akhirnya sangat bergantung pada sokongan pemerintah sebagai maecenas.

Proses pengenalan musik tradisional yang cenderung eksklusif akhirnya membuka tak hanya pada jagad makna. Materialisme yang ditandai dengan instrumen menjadi cara ampuh untuk memperkenalkan ke jagat yang lebih luas. World music dianggap sebagai jawaban atas terbukanya jaman dan batas budaya.

World music merupakan sebagai sebuah genre yang sedang naik daun di tengah lesunya peminat musik tradisional. Mencampurkan berbagai instrumen dalam sebuah garapan musik merupakan semangat di jaman ini. Konsep post-modern yang lebih cenderung mengingkari dan menerabas batas menjadi domain penting dalam ekperimentasi yang dilakukan. World music kemudian hadir dan seolah menjadi jawaban atas sebuah laku pelestarian musik tradisional.

Dengan bentuk world music, musik tradisional dapat dilepaskan dari kerangkeng ekslusifitasnya, kemudian berdiaspora secara lebih luas melalui budaya populer. World music berlandaskan pada keyakinan bahwa budaya itu bersifat fluid atau cair, world music tetap melestarikan musik tradisional dengan mempertahankan beberapa aspek, namun lebih peka merespon semangat zaman kekinian agar bisa diterima oleh khalayak luas penikmat musik.

Bukan berarti budaya populer adalah mesias yang akan menyelamatkan musik tradisional. Berpijak pada kritik Adorno bahwa bagaimanapun ada sisi buruk budaya populer berbasis industri musik, seperti komodifikasi dan penyeragaman selera yang harus diwaspadai. Dalam hal ini, alih-alih menjadi maecenas yang berkutat pada upaya pelestarian musik tradisional melalui program/perhelatan tahunan yang tidak tepat sasaran, pemerintah bisa lebih fokus membangun infrastruktur industri musik. Serta mengatur jalannya industri musik tersebut melalui piranti perundang-undangan. Ini akan melindungi jalannya musik tradisional di ranah budaya populer: bisa dipasarkan secara lebih luas, namun tidak terpengaruh penyeragaman ala budaya populer dan tetap mempertahankan segi estetika tradisionalnya.

Tidak dapat dipungkiri zaman kekinian ini adalah zamannya para Generasi Y, generasi millenial yang hidup menghayati kemajuan teknologi dan segala aspek kehidupan yang lebih cepat. Internet dan banjir informasi adalah makanan sehari-hari generasi Y. Pun dalam perkara menikmati musik, generasi millenial ini memiliki akses tak terbatas pada berbagai musik-musik menarik dari berbagai belahan dunia.

Ada sebuah grup musik menarik asal Palembang bernama Semakbelukar. Grup ini memainkan musik tradisional Melayu yang kental dengan lirik gurindam penuh petuah. Alih-alih hanya berkutat di ranah komunitas Melayu, Semakbelukar malah keluar dari zona nyamannya. Dengan gagah berani Semakbelukar merilis album dan bermain di komunitas musik indie yang jamak dihuni oleh para generasi Y. Semakbelukar menyasar generasi Y tersebut untuk menunjukkan bahwa musik tradisional juga keren.

Semakbelukar adalah contoh bagaimana seharusnya world music dijalankan. Semakbelukar tidak sekadar mencomot sekian instrumen tradisional, mereka benar-benar memainkan musik Melayu tradisional. Semakbelukar merangkul budaya populer agar musik tradisional mereka bisa diperdengarkan secara luas, namun Semakbelukar tetap berhati-hati dengan budaya populer. Terbukti dari cara mereka memainkan musik tradisional Melayu dengan lirik gurindam penuh petuahnya, berbeda jauh dengan musik pop Melayu yang sempat merajai industri musik populer beberapa tahun lalu dengan sekadar mengeksploitasi cengkok (cara bernyanyi) seolah Melayu dengan lirik lagu menye-menye.

            Sudah saatnya musik tradisional Indonesia mengikuti jejak grup independen semacam Semakbelukar. Pasar musik tradisional harus dibangun dengan model world music seperti dijabarkan sebelumnya. Agar musik tradisional bisa menjadi semangat zaman yang benar-benar dilakoni dan dihayati masyarakat Indonesia (bahkan dunia). Tidak sekadar menjadi tontonan eksotis yang harus dilestarikan, dirawat, dan diruwat di museum kebudayaan.

 

* Citra Aryandari. Etnomusikolog, Staf pengajar di ISI Yogyakarta. Direktur lembaga penelitian Citra Research Centre (CRC).