Waljinah: Melihat Perempuan Dalam Jejak ” Walangkekek”

Abstract
Who does not know Waljinah? Javanese woman who always wore “kebaya” and “sanggul” in each action stage. Waljinah is one the most famous and beloved Javanese traditional singers, especially with her song “Walangkekek” which made her very popular among the javanese. Waldjinah is a renowned diva in Indonesia and a leading exponent of the kroncong style. Waljinah songstress sound spoiled, in the era Waljinah become a star, “Walangkekek” a sign Waljinah presence in the music industry scene at that time. “Walangkekek” a unique word has immense significance for the chanter also Waljinah women face in those days.

Latar Belakang
1968, Kereta Bima meluncur pada malam yang tenang. Seorang perempuan duduk diantara kursi menuju Jakarta dengan suatu pengharapan. Perjalanan melintasi ruang pada masa itu adalah suatu hal yang luarbiasa, apalagi untuk seorang perempuan. Oleh karena itu ia berefleksi diri. Bagi dia, hidup, masa lalu, dan masa depan masih kabur untuk seorang biduan. Perlahan kemudian ia mencoba tuliskan gagasan dan harapannya.
…. Walangkekek menclok neng tenggok, mabur maneh menclok neng pari, ojo ngenyek yo mas karo wong wedhok, yen ditinggal lungo setengah mati…
Sebuah syair sederhana yang akhirnya begitu terkenal hingga saat ini, setenar pencipta dan penyanyinya, Waljinah.
Kini 2008, empat puluh kemudian banyak perempuan-perempuan luar biasa hadir dalam kehidupan musik Indonesia. Ada Maia Ahmad, Krisdayanti, Titi DJ, Mulan Jameela, dan masih banyak lagi. Akan tetapi kesemuanya hadir dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang muncul dengan menjual kualitas, dan banyak pula yang membeli publik dengan isue-isue media masa. Nampaknya mereka yang hadir dengan membeli publik dengan issue ini akan dengan cepat meroket, dan akan dengan cepat menghilang. Bisa kita lihat mereka yang menjual nama dengan cerita perselingkuhan, perceraian, dan sebagainya dengan cepat tenar, namun segera menghilang entah kemana. Hal ini nampaknya berbeda dengan Waljinah.
Secara kualitatif, Waljinah mampu bertahan dalam masa tiga jaman. Kiranya hal ini menjadi hal yang luarbiasa untuk kehadiran seorang biduanita, hingga mampu menjaga eksistensinya dalam waktu yang cukup panjang. Kondisi dan determinan macam apa yang sebetulnya melatari keberadaan Waljinah sebagai penyanyi keroncong?
Hampir semua tingkatan generasi dalam masyarakat Indonesia mengenal Waljinah. Berkebaya, bersanggul, banyak senyum dan konsisten dengan keroncong. Tidak banyak wanita Indonesia yang mempunyai nama sebesar dia. Ketenarannya mungkin hanya bisa dibandingkan dengan Titik Puspa. Namun untuk ukuran kualitas, setiap individu memiliki kebesarannya sendiri, apalagi hingga tiga generasi. Luar biasa!.
Waljinah lahir di Surakarta tanggal 7 November 1945. Ayahnya seorang seniman batik, dan ibunya seorang pedagang. Waljinah sering mendengarkan lagu-lagu tradisional Jawa di tempat pembatikan, tempat ayahnya bekerja. Realitas inilah yang kemudian menginspirasi Waljinah untuk menjadi seorang penyanyi. Awalnya Waljinah tidak menyadari bahwa kemampuannya dalam menyanyi akan memberinya jalan dalam meniti khidupan profesi. Hal ini dimulai ketika seorang kakaknya menvermati bakat Waljinah.
Ketika Waljinah sekolah setingkat SMP, ia sangat tertarik pada musik keroncong. Pada tahun 1958 ia merebut juara Festival Ratu Kembang Kacang se-Eks Karesidenan Surakarta. Prestasi tersebut menjadikan Waljinah terus meningkatkan kualitasnya. Hasilnya, berbagai kejuaraan Bintang Radio untuk bidang seni keroncong diraihnya mulai dari tingkat Karesidenan Surakarta sampai dengan piala presiden Soekarno yang diraihnya pada tahun 1965. Ini momen yang luarbiasa mengingat penghargaan presiden adalah legitimasi untuk sebuah prestasi nasional.
Perempuan Jawa
Waljinah adalah perempuan Jawa. Tradisi Jawa memberikan konsepsi bahwa perempuan sejati adalah perempuan yang tetap tampak lembut, berperan dengan baik di rumah sebagai ibu maupun istri, berbakti dengan melebur di dapur maupun tempat tidur. Masyarakat Jawa berharap perempuannya bersikap dan berperilaku halus, rela menderita, dan setia. Ia diharapkan dapat menerima segala sesuatu bahkan yang terpahit sekalipun. “Mlakune kaya macan luwe” (jalannya seperti harimau jalan) adalah sebuah metafor untuk perempuan Solo.
Berkaitan dengan prinsip hormat, sedapat mungkin perempuan Jawa tidak tampil dalam sektor publik karena secara normatif perempuan tidak boleh melebihi laki-laki. Pada awalnya keluarga Waljinah sangat melarang Waljinah sebagai seorang penyanyi, karena sebagai perempuan Jawa, pekerjaan sebagai penyanyi dianggap rendah. Akan tetapi hal ini tidak berpengaruh dalam diri Waljinah. Jika dilihat dalam perspektif feminism Waljinah pada masa itu menyadari adanya ruang-ruang yang bisa dipilih sebagai perempuan sebagai profesi modern. Kenyataan membuktikan orang-orang di sekitar Waljinah alkhirnya menerima hal itu karena adanya legitimasi lewat festival.
Hal ini secara intertekstual, di solo tempat waljinah lahir juga muncul perempuan-perempuan yang luar biasa dibidang batik. Pengusaha-pengusaha batik di laweyan dan dinamika pasar klewer dimotori oleh kaum perempuan (mbok mase, yang bukan dari golongan aristokrat). Kondisi ini dijadikan sebagai penanda bahwa perempuan Solo di masa itu telah memiliki kemandirian atau kepercayaan di bidang ekonomi dan hiburan. Perlu dicermati pula telah ada panggung hiburan wayang orang sriwedari sebagai panggung pertama hiburan bergaya prosenium di Indonesia. Ruang ini sudah tentu telah menjadikan posisi seni pertunjukan diakui keberadaan oleh keraton Solo secara hemegonial.
Ada sebuah pendapat yang menyatakan bahwa telah dikenal sistem bilateral, dan bukan paternalistik, dalam praktik hidup sehari-hari masyarakat Jawa. Sebagian orang menganggap perempuan Jawa memiliki kekuasaan yang tinggi mengingat perannannya yang cukup besar dalam ekonomi keluarga yang dicapai melalui partisipasi aktif mereka dalam kegiatan produktif. Fungsi istri sebagai manajer rumah tangga justru membuat posisi kontrol perempuan Jawa menjadi lebih kuat. Jika kita lihat dalam beberapa pertunjukan profesional yang lahir di Jawa memperlihatkan keberadaan perempuan sangat signifikan. Bisa dilihat misanya kasus Sri Mulat, dan ketoprak Siswo Budoyo (Ibu Rumani sebagai pendiri).
Saat itu secara eksplisit telah terjadi pergeseran kedudukan dan relasi gender masyarakat Jawa. Modernisasi, emansipasi perempuan, dan masuknya pengaruh budaya Barat, telah menggeser pola relasi gender mengarah kepada persamaan derajat dan kedudukan di masyarakat. Sri Mulat dan Bu Rumani tidak berbeda dengan para mbok Mase di sekitar Laweyan yang memberikan kontribusi besar dalam perekonomian rumah tangga bahkan kota.
Agaknya, pandangan feodalistik yang cenderung memosisikan kaum perempuan di bawah subordinasi kaum lelaki semakin terkikis. Sudah bukan zamannya lagi seorang istri hanya hanya menunggu kepulangan sang suami sekadar ingin melolos sepatu atau dasi yang diyakini sebagai simbol kesetiaan.
Memang harus diakui, pandangan feodalistik semacam itu tidak selamanya negatif. Setidaknya, nilai etika, kesetiaan, kelembutan, dan keharmonisan merupakan nilai positif yang terpancar dari sosok perempuan Jawa sebagaimana tergambar dalam Serat Centhini. Dalam konteks demikian, perempuan pasca-Jawa alias perempuan Jawa modern, seringkali dihadapkan pada situasi dilematis, antara mengikuti arus modernisasi dengan segenap dinamikanya; atau tetap menjadi sosok perempuan yang sarat sentuhan nilai tradisi; lembut, serba mengalah, sendika dhawuh, dan pasrah. Meminjam istilah Emile Durkheim, kaum perempuan pasca-Jawa, sedang berada dalam kondisi yang mungkin menyerupai anomie (keadaan di mana nilai-nilai, peraturan-peraturan, dan kontrol sosial tidak lagi mengekang individu) (K.J.Veeger,1993;192) . Ini sesuai dengan kondisi perempuan Jawa pada masa itu masih menaruh rasa hormat yang tinggi terhadap budaya Jawa, tetapi gaya hidupnya sudah universal dan modern.
Tampaknya, kaum perempuan pasca-Jawa memang harus mencermati secara serius terhadap kondisi anomie yang, mau atau tidak, mesti dilaluinya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mewujudkan sosok perempuan pasca-Jawa yang tidak kehilangan identitasnya atau jatidiri ke-Jawa-annya di tengah-tengah kuatnya arus transformasi budaya yang demikian dahsyat?
Mitos kanca wingking memang harus dibebaskan. Kaum perempuan dituntut untuk bisa tampil mandiri, dinamis, kreatif, penuh inisiatif, dan profesional dalam mengambil perannya di sektor publik. Meski demikian, bukan berarti harus meninggalkan “naluri” keibuan yang penuh sentuhan perhatian dan kasih sayang terhadap anak dan suami, lembut, hormat, etis, dan bermartabat tinggi.
Walangkekek & Maecenas
Keberhasilan Waljinah sangat dipengaruhi oleh “maecenas-maecenas” yang ada pada setiap masanya. Pada tahun 1965 ketika Waljinah menjuarai Festival Keroncong Piala Presiden Sukarno adalah moment dimana Presiden Sukarno sebagai orang nomor satu di masa itu menjadi maecenas yang mendukung keberhasilan Waljinah. Presiden Sukarno memberikan wadah kepada seniman-seniman keroncong khususnya Waljinah dengan mengadakan semacam briefing yang membahas keroncong. Karena kedekatan Waljinah dengan presiden Sukarno pada saat itu, sampai-sampai anak Waljinahpun diberi nama oleh Sukarno. Soekarno yang pada masa itu mendudukkan dirinya pemimpin revolusi adalah simbol penguasa yang mampu memberikan perubahan dan jaminan keteguhan negara. Karena itu apa yang menjadi pilihan Soekarno adalah pilihan seluruh rakyat.
Umar Kayam menyebut “maecenas-maecenas” sebagai sesuatu yang memberikan perhatiannya terhadap kesenian dan kemurahan hatinya kepada seniman; telah dijadikan contoh lambang kedermawanaan dan perlindungan terhadap kehidupan kesenian. (Umar Kayam,1981; 71) Keputusan-keputusan terpenting yang mengatur kehidupan negara, masyarakat dan orang-orang diputuskan kalangan itu. Di istana-istana raja, bangsawan dan kaum agamawan, juga gereja-gereja berbagai hasil kesenian diperkenalkan, dipamerkan, didengarkan, dibeli, disimpan. Di tempat-tempat itu pula seniman-seniman diperkenalkan, dipuji, dicaci, didorong, dihadiahi dan dihukum. Kemudian dengan munculnya pola pengaturan masyarakat dan dengan demikian juga kekuasaan dan kekayaan, fungsi maecenas itu langsung dimainkan oleh lembaga-lembaga pemerintahan atau umum.
Kita melihat dari penggambaran sekilas tadi, adanya satu pergeseran pola dari kedermawanan dan perlindungan terhadap seniman dan seni. Pergeseran wajah yang sangat personal ke wajah yang lembaga wakil telah terjadi. Apapun wajah dari sang maecenas, ada satu unsur yang harus hadir pada kualifikasi maecenas itu, yakni unsur kecintaan setidak-tidaknya perhatian atau tanggapan perlu terhadap seniman dan kreasi seni. Kemudian unsur lain yang nampaknya mesti juga hadir pada kualifikasi maecenas itu adalah unsur kemampuan. Kemampuan disini bisa berarti uang, posisi atau fasilitas atau ketiga-tiganya.
Kenapa dan sejauh mana lagu walangkekek menjadi sangat populer? Selain identik dengan pembukaan nalo (perjudian legal pada masa itu), walangkekek juga dikenal sebagai lagu favorit ibu Tien Soeharto. Suatu fenomena yang menghadikan kontradiktif. Sebuah lagu bisa diterima dalam perjudian maupun hiburan kenegaraan.
Pada masa itu di Solo juga telah terbit koran mingguan Parikesit, Dharma Nyoto dan juga Dharma Kandha. Keberadaan media sangat mempengaruhi kehidupan seni. Koran mingguan berbahasa Jawa tersebut berfungsi formal untuk melestarikan nilai-nilai budaya setempat, serta untuk meneruskan pengetahuan serta nilai-nilai dari generasi sebelumnya. Parikesit, Dharmo Kandha, dan Dharmo Nyata merupakan bukti nyata bahwa Solo merupakan daerah yang sudah maju pada jaman itu. Media sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal. Media mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik. Dalam kaitannya dengan Waljinah, adanya koran mingguan ini membantu menyiarkan kegiatan panggungnya, sehingga masyarakat dapat mengikuti aksinya, atau di sisi yang lain media memberikan pembelajaran intelektual untuk masyarakatnya.
Louis Althuser menulis bahwa media, dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena kemampuannya sebagai sarana legitimasi (Alex Sobur,2001;29). Kondisi ini juga menguntungkan bagi si pelantun Walangkekek dalam menjaga eksistensinya dalam masyarakat pada masa itu.
Syair walangkekek sangat diterima masyarakat pada jamannya. Syair tersebut sangat mudah dipahami. Tidak seperti puisi dalam kesusasteraan modern Indonesia yang memerlukan pendekatan tertentu dalam menginterpretasikannya. Syair dalam lagu populer tidaklah hadir sebagai karya yang berdiri sendiri. Ia akan terkait dengan aransemen lagu yang menyertainya. Musik menjadi wilayah lain di luar sastra. Akan tetapi dalam konteks ini syair nampaknya juga menarik untuk dikaji karena memiliki kekuatan tersendiri dalam karya musik populer.
E.S Dallas seorang kritikus sastra Inggris mengenalkan tiga pengelompokan puisi yang agak berbeda dengan tokoh-tokoh lain. Dallas membagi puisi menjadi puisi drama, puisi cerita, dan puisi lagu (Rene Wellek &Austin Warren,1990;301).Drama menurutnya memakai orang kedua, dan kata kerja dengan bentuk waktu (present);epik (cerita) memakai orang ketiga, dan kata kerja bentuk lampau (past); sedangkan lirik memakai orang pertama tunggal, kata kerja bentuk yang akan datang (future). Dari keterangan ini menyiratkan bahwa puisi lirik lebih mengisahkan diri sang penyair secara langsung. Lebih jauh menurut Sapardi, puisi adalah suatu unikum, hasil pengamatan yang unik seorang penyair (Sapardi Djoko Damono, 1983;67). Puisi disamping yang lain, meminta kemampuan kepada kita untuk menyodorkan atau menuliskan pengalaman dengan cara tertentu (Sapardi Djoko Damono, 1983;68).
Dari pemaparan di atas jelaslah bahwa puisi lebih menyiratkan sebuah pengalaman pribadi, namun bisa juga sebuah pengamatan yang unik dari seorang penyair. Jika hal ini disepakati maka kondisi kaum perempuan yang terepresi dan membutuhkan pencerahan merupakan realita yang ada pada masa itu. Adapun ini terlihat dari syair walangkekek;
Walang kekek, menclok nang tenggok, Mabur maneh, menclok nang pari, Ojo ngenyek yo mas, karo wong wedho, Yen ditinggal lungo, setengah mati, E… ya ye…, ya ye.. ya, E ya.. yae yai, e yaiyo yaiyo
Manuk sriti kecemplung banyu, Bengi ngimpi awan ketemu,Walang abang menclok neng koro, Walang biru.. walange putih, Bujang maneh yo mas, ora ngluyuro, Sing wis duwe putu, ra tau mulih, E… ya ye…, ya ye.. ya, E ya.. yae yai, e yaiyo yaiyo
Biso nggambang yo mas, ora biso nyuling, Biso nyawang, ora biso nyanding, Walang ireng, mabur brenggenggeng,Walang ireng, dowo suthange,Yen podo seneng yo mas, ojo mung mandeng, Golek ono ngendi omahe, E… ya ye…, ya ye.. ya E ya.. yae yai, e yaiyo yaiyo
Biso nggambang yo mas, ora biso ndemung, Biso nyawang, ora wani nembung, Walang kekek, walange kayu, Walang kayu, tibo neng lemah,Yen kepingin yo mas, arep melu aku, Yen mung trimo, tak kon jogo ngomah, E… ya ye…, ya ye.. ya, E ya.. yae yai, e yaiyo yaiyo
Andeng-andeng, ono pilingan, Ojo dipandeng, mundak kelingan, Walang kekek menclok neng tampah Mabrur mrene, menclok wit pete, Sumengkemo mring Gusti Allah, Nindakake dawuh-dawuhe,E… ya ye…, ya ye.. ya, E ya.. yae yai, e yaiyo yaiyo
Walang kekek menclok neng tali, Limang wektu ojo nganti lali, E… ya ye…, ya ye.. ya
E ya.. yae yai, e yaiyo yaiyo
Walang kekek, walange kadung, Walang kekek sampun rampung

Bait pertama, menceritakan tentang bagaimana seorang laki-laki akan kebingungan jika ditinggal perempuan, dan oleh karena itu janganlah para lelaki menyepelekan perempuan. Bait kedua berisis sebuah pesan pada kaum lelaki muda jangan suka begadang, dan jangan sampai seperti seorang kakek yang telah mempunyai cucu dan tidak pernah pulang. Kemudian bait ketiga menyatakan kalau para lelaki menyukai perempuan jangan diam saja, tetapi carilah rumahnya. Bait keempat mengisahkan andaikan seorang lelaki ingin ikut dengan perempuan, ikhlaslah jika hanya dijadikan penunggu atau penjaga rumah.Bait kelima mengingatkan agar manusia selalu menyadari keberadaan Tuhan dan menjalankan perintahNya. Bait ke-enam merupakan salam perpisahan.
Syair menjadi sangat bermakna dalam industri musik. Salah satu keberhasilan Beatles, Koes Plus, Rhoma Irama, hingga Sheila on 7 dan Padi tak bisa dilepaskan dari keberadaan syair. Sampai saat ini syair-syair Beatles dan Rhoma irama masih diingat oleh sebagian masyarakat. Sheila on7 muncul di balantika musik populer karena sephia. Ini terlihat pula pada lagu-lagu Ebiet dan Iwan Fals, yang mana syair yang mereka ciptakan sangat kontekstual dengan jaman yang melatarinya.Syair-syair mereka bisa dikatakan memahami zeitgeist (jiwa jaman).
Raymond William memandang budaya populer sebagai makna yang meyiratkan “banyak disukai orang”, “jenis kerja rendahan”, “karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang”, “budaya yang memang dibuat orang untuk menyenangkan dirinya sendiri” (John Storey,2003;10). Namun jika melihat korelasi tema dalam walangkekek dengan fakta yang ada dalam realitas masa itu, maka menjadi sangat bermakna jika kita mencoba memahami nilai-nilai yang sedang tumbuh pada masa itu.
Lagu walangkekek dilihat dari syairnya yang berupa parikan merupakan representasi dari kondisi perempuan Jawa pada masa itu. Disepelekan, ditinggal pergi oleh kaum lelaki adalah hal biasa. Waljinah berpandangan, bahwa para lelaki pada masa itu perhatiaannya terhadap keluarga direbut oleh nalo, wayang, dan ketoprak, sehingga tidak jarang lelaki mulai melupakan keluarga. Kemudian melalui suara indahnya Waljinah mengingatkan agar kaum lelaki ingatlah pada Tuhan, lakukan perintahNya, dan ada sedikit peringatan janganlah menyepelekan kaum perepuan, karena jika ditinggalkan ia sendiri akan kebingungan.
Jika ditelusur secara tekstual, lirik walangkekek berisi pesan moral dan memiliki nilai-nilai yang berelasi dengan feminisme. Kondisi kaum perempuan yang telah terrepresi (didomestikkan) selama bertahun-tahun seolah mendapat pencerahan dengan syair walangkekek. Alhasil lagu itu mendapatkan tempat di hati kaum perempuan masa itu.

Kesimpulan
Menyebut nama Waljinah semacam identik dengan budaya Jawa. Nyaris separoh hidupnya memang didedikasikan untuk kesenian Jawa. Meskipun demikian Waljinah bisa mempertahankan popularitasnya hingga 3 jaman. Sebagai perempuan Jawa yang hidup dalam aturan patriarki kemunculan Waljinah mengundang tanya. Tapi beriring dengan waktu kondisi masyarakat yang mulai anomie membuat kehadiran Waljinah sebagai biduanita sangat di nanti.
Syair walangkekek yang merupakan representasi dari keadaan perempuan masa itu, merupakan determinan dalam keberhasilan Waljinah. Adanya hegemoni yang mengakui, ia masuk dalam narasi besar budaya populer yang diakui penguasa (bu Tien). Antonio Gramsci dalam konsep Hegemoni menjelaskan bahwa hegemoni mengacu pada cara dimana kelompok dominan dalam suatu masyarakat mendapat dukungan dari kelompok-kelompok subordinasi melalui proses kepemimpinan intelektual dan moral (John Storey,2003; 18-19)
Solo, kota yang menjadikan pertunjukan bagian dari realita kehidupan, sangat mendukung industri budaya. Dalam dunia keroncong eksistensi gesang telah nampak. Begitupula dalam sastra Jawa (budaya), Solo telah menerbitkan koran Parikesit dan Dharma Kandha/Nyata yang mau tak mau merupakan media dalam mengangkat seni budaya (lokal genius). Walangkekek bisa dikatakan sebagai penanda perubahan nilai dan pandangan hidup masyarakat Jawa atas perempuan dan kebudayaan.

Daftar Pustaka
Alex Sobur, Analisis Teks Media, Bandung: Rosda,2001

John Storey, Teori Budaya dan Budaya Pop, Jogjakarta: Qalam,2003

K.J. Veeger, Realitas Sosial, Jakarta:Gramedia,1993

Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusasteraan, Jakarta: Gramedia, 1990

Sapardi Djoko Damono, Kesusasteraan Indonesia Modern Beberapa Catatan, Jakarta: Gramedia, 1983

Umar Kayam, Seni Tradisi Masyarakat, Jakarta: Sinar Harapan, 1981

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *