JAZZ dan PERGERAKAN
Oleh: Citra Aryandari *
Perkembangan musik jazz di Indonesia kian subur dari hari ke hari, ini ditandai dengan maraknya berbagai perhelatan festival jazz di berbagai lokus, kota besar atau wilayah pinggiran. Pagelaran pertama Java Jazz di tahun 2005 silam, kemudian perkembangannya sebagai festival jazz tahunan terbesar di Indonesia disinyalir menjadi tonggak awal berkembangnya festival-festival jazz ini.
Jazz lahir dari tangan-tangan kreatif kaum kulit hitam yang mengalami penindasan dan perbudakan di Amerika pada akhir abad ke-18. Bagi orang-orang kulit hitam ini, musik dan gaya permainan mereka adalah wujud ekspresi dari sebuah perlawanan terhadap sistem politik yang rasis dan menindas.
Sejarah mencatat perbudakan dan diskriminasi rasial di Amerika justru melahirkan musik-musik perlawanan seperti blues. Blues dianggap sebagai cikal bakal lahirnya musik jazz. Musik ini hadir sebagai sebuah produk budaya yang merepresentasikan resistensi budaya orang hitam terhadap Westernisasi, baik dari segi agama, maupun kultur politik. Jazz adalah musik pergerakan, pengejawantahan dari jiwa tertindas yang ingin bebas.
Geliat pergerakan pembebasan diri orang Afro-Amerika dari belenggu struktur sosial-politik represif ini dituangkan dalam ekspresi nada, harmoni, dan gaya permainan bermusik. Jazz adalah musik yang ramah pada improvisasi sebebas apapun. Perkembangan lebih lanjut ideologi jazz diinterpretasikan tidak hanya sebatas perlawanan politis, tetapi menjadi gerakan liberalisasi atau dekonstruksi bermusik dalam rangka mencari ruang gerak, alternatif cara, dan gaya permainan lain.
Pagelaran jazz dalam bentuk festival di Indonesia adalah ruang baru dalam penyebaran musik jazz, pun sebagai salah satu program tahunan promosi wisata, seni dan budaya bagi daerah-daerah di Indonesia. Sulawesi Selatan misalnya, Festival Jazz @ Fort Rotterdam merupakan event tahunan yang diselenggarakan di salah satu situs sejarah dan seni budaya benteng Fort Rotterdam. Event ini dinilai sangat “wah”, apalagi di dukung dengan kehadiran para musisi jazz papan atas Indonesia.
Pagelaran Jazz @ Fort Rotterdam ternyata mampu menembus benteng pertahanan seni budaya lokal. Daerah Sulawesi Selatan bahkan menanam benih di dalamnya, sehingga musik jazz dapat menjadi embrio kearifan seni budaya lokal daerah Sulawesi Selatan, dan “mereka” para pelaksana dan pemerintah yang mendukung acara ini telah mengagendakan Jazz @Fort Rotterdam sebagai ajang promosi pariwisata daerah Sulawesi Selatan.
Ini memunculkan pertanyaan: di luar agenda pariwisata, apakah pemerintah daerah serta masyarakat pendukung sadar bahwa musik jazz adalah musik impor? Sudahkah mereka paham jazz adalah saripati gerakan perlawanan di benua seberang?
Membaiknya pertumbuhan ekonomi memicu banyak wilayah untuk tumbuh menjadi pusat-pusat ekonomi. Sesuatu yang pada gilirannya disusul oleh bangkitnya kelas menengah baru dan euforia konsumsi, namun tingkat kesenjangan sosial kian lebar sebagaimana tampak dari meningkatnya kelompok gelandangan, pedagang informal, dan kaum marjinal lainnya. Wajah Indonesia kontemporer secara telanjang memunculkan paradoks. Dari sini kita bisa melihat Indonesia tidak terlepas dari gesekan-gesekan dalam banyak segi, baik spasial, ekonomi, sosial maupun kultural.
Orang awam menganggap bahwa musik jazz di Indonesia masih merupakan barang mahal dan elit. Pertunjukan musik jazz cenderung berlangsung di kafe-kafe atau di hotel berbintang. Mereka yang menikmati adalah kaum borjuis. Musik jazz dianggap elit karena memang tidak banyak penggemarnya. Untuk benar-benar memahami musik jazz juga diperlukan waktu belajar yang lama, serta tenaga dan biaya yang tak sedikit pula.
Maka penggemar musik Jazz cenderung berasal dari latar belakang pendidikan tinggi seperti mahasiswa dan kalangan akademis lainnya. Dilema yang terjadi di Indonesia bahwa menikmati musik jazz dijadikan sebagai gaya hidup atau pola hidup seseorang. Ada kalangan tertentu yang terpaksa mendengar musik jazz hanya agar dipandang sebagai kaum borjuis. Hal inilah yang sering terjadi pada kafe-kafe atau pub.
Musik tidak pernah suci hama dari sengkarut ekonomi, sosial, dan politik. Pun jazz yang awalnya menjadi wadah pergerakan kaum Afro-Amerika, perjalanan sejarah dan industrialisasi praktis menggeser makna perlawanan jazz menjadi sekadar gaya hidup, jazz menjadi penegasan strata sosial. Festival-festival jazz seantero Indonesia pun kebanyakan masih bertiket mahal dan mustahil terjangkau kelas menengah ke bawah.
Masuknya child prodigy Joey Alexander ke dua nominasi Grammy Awards tahun ini, dan penampilannya di panggung penghargaan musik prestisius sejagad itu menegaskan sengkarut eksospol dalam jazz. Berbagai jargon nasionalisme sempat mewarnai pemberitaan mengenai Joey, dengan headline utama “satu-satunya musisi Indonesia yang pernah masuk ke Grammy.
Jarang ada yang menulis bagaimana permainan musik jazz Joey. Atau privilege alias hak istimewa yang dimiliki Joey berdasarkan latar belakang keluarganya yang memutuskan pindah ke Amerika agar karir Joey meningkat. Bayangkan jika Joey adalah bagian dari anak kelas menengah ke bawah yang tidak memiliki privilege akses belajar sedemikian bagus, apakah ia akan tetap mampu menjadi child prodigy seperti sekarang?
Beruntung, masih ada musisi dan perhelatan musik jazz yang tidak terlalu terseret sengkarut strata kelas. Walau tidak banyak, musisi dan festival ini masih berusaha meniupkan kembali ruh pergerakan ke tubuh jazz. Misalnya Ngayogjazz di Yogyakarta yang setiap tahun selalu dihelat di wilayah perkampungan, tanpa tiket masuk mahal alias gratis, dan memberdayakan potensi warga lokal. Atau dalam skala yang lebih kecil Jazz Mben Senen di Bentara Budaya Yogyakarta di mana setiap orang egaliter karena boleh bermain atau jamming di sana.
Beragam festival jazz di daerah Indonesia itu baik, mencampur jazz dengan berbagai musik tradisi Nusantara juga baik, pun menulis gagasan nasionalisme terkait naik daunnya bocah pianis Joey Alexander. Akan lebih baik jika dibarengi dengan pemahaman bagaimana akar pergerakan jazz, agar jazz tidak dimaknai sekadar sebagai gaya hidup dan pembeda strata kelas.
* Citra Aryandari. Etnomusikolog, Staf pengajar di ISI Yogyakarta. Direktur lembaga penelitian Citra Research Centre (CRC).