Abstract
Elektronik Dance Music (EDM) sebuah genre musik yang lekat akan persepsi negative. Bagaimana tidak, genre musik ini lekat akan dunia malam yang sarat akan obat-obatan terlarang dan minuman alcohol. Hentakan irama yang dihadirkan mampu menggugah hasrat untuk bergoyang memberikan kenikmatan sesaat untuk sekedar melupakan penatnya kehidupan. Meski dapat dikatakan musik genre ini mampu membantu pendengar melupakan problema hidup, tetapi sangat jarang kaum akademisi melirik genre musik ini menjadi sebuah kajian yang menarik.
Mendobrak Nada, Menghentak Irama merupakan tulisan sederhana dari sebuah pengamatan di ruang social yang awal mulanya sarat akan ketertutupan sehingga tampak tabu untuk didiskusikan. Kehadiran EDM seiring dengan kemajuan teknologi merupakan gambaran kompleksitas relasi social masyarakat yang mulai mencari identitas baru ditengah permainan kekuasaan, politik dan ideology. Fenomena ini secara spesifik tampak dalam lagu ‘Ora Minggir Tabrak’ soundtrack film Ada Apa Dengan Cinta 2 dan lebih luas dapat dilihat dalam ajang pencarian bakat musisi EDM yang ditayangkan Net TV (the ReMix) serta beberapa event besar bertaraf internasional yang dilakukan secara annual, seperti DWP (Djakarta Warehouse Project); dan Dreamfield di GWK Bali, menjadi layak didiskusikan ditengah hiruk pikuk pasar musik di Indonesia.
‘Intro’
Film ‘Ada Apa Dengan Cinta 2’ yang baru saja di launching beberapa saat lalu menghadirkan kota Yogyakarta sebagai salah satu setting tempat. Sebagai sebuah lokus yang banyak memiliki teks budaya, beberapa teks local pun dipilih untuk memperkuat nuansa Yogyakarta. Lagu ‘Ora Minggir Tabrak’ salah satunya, lagu dolanan anak ini dihadirkan kembali dalam nyanyian hip-hop dalam balutan EDM (Electric Dance Music) oleh Kill the DJ dan Libertaria sebagai soundtrack film AADC 2.
Kill the DJ dan Libertaria tampil dalam sebuah scene yang menunjukkan dunia gemerlap (dugem) di Yogyakarta. Kehidupan dunia gemerlap tak bisa lepas dari aksi sang DJ (Disk Jockey) yang merupakan sebutan seseorang yang terampil dalam memilih dan memutar rekaman musik dalam rangka menciptakan sebuah ‘musical journey’ bagi penikmat. Seorang DJ bertindak sebagai pengendali dan penyeleksi lagu-lagu yang diputar sesuai dengan suasana maupun aliran musik yang dimainkan. Dalam hal menyeleksi lagu ini, DJ akan menggabungkan teknik-teknik skill khusus dengan pengetahuan di bidang musik untuk membangun sebuah live show yang spektakuler dan disukai para pendengar. Dunia gemerlap malam kini tak pelak sebagai tanda realita citra kota modern.
Boshe (tempat hiburan malam di Yogyakarta), 3 Mei 2016 menggelar sebuah acara dengan tajuk “Localy Session” menampilkan lagu ‘Ora Minggir Tabrak’ yang dibawakan oleh DJ Tehara sebagai salah satu lagu andalan sebagai tanda malam akan segera habis dengan beat yang semakin menghentak. Nada sederhana dari lagu ini mendapat respon yang luar biasa dari penonton. Tembang ‘Ora Minggir Tabrak’ merupakan tembang Jawa yang biasanya dinyanyikan anak-anak saat bermain, kini lagu tersebut hadir dalam lokus dan kepentingan berbeda. Melalui film AADC 2 lagu yang mulai memudar dikalangan anak-anak, hadir menjadi hits yang perlu direspon dengan cepat oleh pemilik bisnis tempat hiburan sebagai permintaan pasar. ‘Ora Minggir Tabrak’ menjadi popular dalam waktu singkat. Kini, seni menjadi semakin terintegrasi dengan ekonomi keduanya digunakan untuk mendorong orang mengkonsumsi melalui peranan besar yang dimainkan dalam iklan maupun karena seni telah menjadi barang komersial tersendiri (Dominic Strinati, 2007).
Kepanikan moral masih menghinggapi tatkala dunia gemerlap malam diperbincangkan. Kepanikan moral dipahami sebagai gerakan media yang dihasilkan berdasarkan pada persepsi bahwa seorang individu, kelompok atau budaya yang menyimpang dan menimbulkan ancaman bagi masyarakat. (Stanley Cohen, 1972). Meski demikian postmodern menawarkan pembebasan sekat-sekat, yang kemudian memungkinkan dunia gemerlap malam dikaji lebih mendalam. Hadirnya tembang dolanan anak ‘Ora Minggir Tabrak’ menjadi objek materi bagaimana batas tersebut ditembus. Bagaimana tembang dolanan anak di aransemen ulang mengikuti selera pasar dalam bentuk EDM yang kemudian menjadi soundtrack film?, Melalui film AADC 2 dan soundtracknya tampak bahwa EDM (Elektronik Dance Musik) tumbuh berkembang melewati batas keistimewaan kota Yogyakarta, bagaimana resonansi terhadap budaya yang berkaitan dengan masyarakat menjadi persoalan yang ingin diketahui jawabannya.
‘Verse 1’
Tembang dolanan anak ‘Ora Minggir Tabrak’ dikemas menarik dalam genre musik EDM (electric dance music), menjadi inovasi menarik dalam hiruk pikuk pasar musik Indonesia. Inovasi tersebut berhubungan dengan kolase, pastiche (kerja seni), dan pengutipan, dengan perpaduan aliran yang secara musical maupun historis berbeda, dengan penggabungan acak dan selektif.
EDM sebagai sebuah genre musik mengalami pasang surut sampai akhirnya meraih popularitas. Sejarah mencatat EDM bermula dari tahun 1970, dan menurut Rawley Bornstein seorang programmer MTV , “EDM is the new rock and roll”. Pendapat ini terbukti bahwa kini EDM sudah tidak segmented lagi, hampir setiap menit radio-radio memutar lagu-lagu EDM, bahkan tv nasional (Net TV) sempat menayangkan ajang pencarian bakat DJ dalam program tv The Re-Mix, juga banyak festival besar diselenggarakan untuk genre musik ini. Kini para DJ pun sudah seperti rockstar.
Awalnya, EDM adalah musik electronic yang diproduksi untuk diputar di klub malam, atau di tempat yang digunakan untuk berdansa. Electronic Dance Music biasanya dikategorikan berdasarkan beat per minute (bpm). Tempo EDM paling lambat berkisar antara 60-90bpm, sedangkan genre seperti speedcore bisa melampaui lebih dari 240bpm. Pergerakan EDM muncul saat musik disco mulai meninggalkan proses penggarapan musik secara orkestrasi tradisional, dan mulai menggunakan alat musik electronic seperti synthesizer dan drum machine pada 1970-an. Di era itu, banyak produser dan DJ bereksperimen dengan tehnik blend mixing (Bennet, 2001) yakni menggabungkan beberapa piringan hitam sehingga menghasilkan suara baru dengan tekstur nada yang berbeda. Tehnik ini kemudian berkembang seiring dengan perkembangan teknologi.
EDM pun berkembang sejalan dengan perkembangan ruang dan waktu. Ibiza, sebuah kota dalam kepulauan Balearic (Spanyol) mengeksplorasi teks local yang kemudian berkembang menjadi Balearic beat. Sebuah beat yang sangat terkenal dalam genre EDM. Balearic sebagai sebuah ruang yang dikelilingi pantai indah merupakan destinasi wisata yang sangat terkenal di Eropa, ini menjadikan Ibiza dikunjungi wisatawan sehingga resort dan beach club banyak dijumpai di kota ini. Beach club di Ibiza dalam sebuah brosur menawarkan ‘rave party’ clubbing dimulai dari sunset hingga sunrise, ini menjadikan EDM dalam gaya local berkembang mengikuti permintaan pasar, dan Balearic beat menjadi sebuah sub genre yang dikenal secara luas dan diminati beach club lain diluar wilayah Balearic. Tidak hanya itu industry rekaman Balearic beat mendapat respon pasar yang luar biasa. Hampir seluruh Beach club yang ada di dunia menjadikan Balearic beat sebagai soundscape saat club tersebut tidak menggelar event. Bahkan beach club ternama di Bali juga menjadikan Balearic Beat sebagai soundscape ruang, tatkala tidak ada DJ live yang dipertontonkan.
Di akhir tahun 1980 an dan awal 1990 an, di Detroit mulai terdengar sub genre lain dari EDM. Kebisingan kota menjadi reference dalam inovasi yang dilakukan. ‘Industrial Noise’ sebuah tanda kehidupan urban seperti soundscape jalanan, mesin pabrik, shopping mall, dan keramaian kota menjadi ide pengembangan musik EDM dan kemudian sub genre ini lebih dikenal sebagai musik Techno. Techno berkembang pesat dalam ruang kota padat yang sarat akan kebisingan. Dusseldorf pusat kota industri di Jerman disinyalir menjadi akar dari perkembangan aliran musik Techno. Ralf Hutter dan Florian Schneider mahasiswa musik klasik yang frustasi akan latihan musik klasik yang diterapkan di konservatori memulai eksperimen bermain musik dengan computer yang memungkinkan melakukan penataan musik dengan tingkat kerumitan yang tinggi dan digabungkan dengan soundscape yang hadir di Dusseldorf Jerman (Gill, 1997). Hutter dan Schneider kemudian membentuk kelompok musik Techno bernama Kraftwerk yang dikenal hingga kini dan tercatat dalam sejarah EDM
Di Indonesia EDM lumayan berkembang, ini dapat dilihat dari menjamurnya pesta-pesta EDM di Tanah Air. Tahun 2008, Blowfish Warehouse Project mencoba pangsa pasar Indonesia, dan kini berganti nama menjadi Djakarta Warehouse Project (DWP). DWP yang diselenggarakan oleh Ismaya Live seolah menjadi ‘hari raya’ para pecinta musik pesta. Sejak 2008 hingga kini DWP tidak pernah sepi pengunjung, bahkan menjadi festival EDM terbesar di dunia yang diramaikan oleh DJ dan Musisi EDM papan atas dunia yang dikunjungi puluhan ribu penonton.
Selain DWP, festival EDM yang ramai dikunjungi masyarakat local dan asing adalah Dreamfields yang diselenggarakan di Garuda Wisnu Kencana (GWK) Bali, sejak diadakan pertama kali pada tahun 2014, tercatat lebih dari 10 ribu penonton memadati GWK. Selain Dreamfield, ada juga festival EDM lain yang diselenggarakan di Bali sejak awal tahun 1999-an, yakni Ultra Music Festival.
Perkembangan EDM di Indonesia selain ditandai dengan festival Internasional yang dikunjungi puluhan ribu penonton, juga tampak pada ajang pencarian bakat DJ di layar kaca. The ReMix sebuah program acara berformat kompetisi yang ditayangkan oleh Net TV ikut meramaikan kehadiran EDM di Indonesia. Acara ini merupakan adaptasi acara serupa yang sukses besar di pertelevisian Vietnam pada awal tahun 2015. TV yang bergerak dalam dunia capital lebih tertarik untuk mengambil dan mendaur ulang trend daripada menyebarluaskan inovasi yang riskan secara komersial. Kesuksesan kompetisi EDM di Vietnam, membuat Tripar Multivision sebagai produser The ReMix yakin untuk menghadirkan di Indonesia. Tentu saja keyakinan ini juga didasari realita trend gaya hidup yang tampak dalam masyarakat. Acara televisi merupakan tanda yang dapat disebut teks social (Danesi, 2008). Teks yang mereprentasikan pelbagai nilai yang ada dalam masyarakat.
‘Chorus’
Teknologi digital membuka jalan bagi era baru dalam rekaman suara , pita mesin analog digantikan dengan computer. Komputer mampu menyimpan dan mereproduksi suara yang jauh lebih akurat daripada mesin rekaman analog lama dan dapat menghasilkan unsur-unsur yang beda dari ‘white noise’, meskipun sering dianggap ketidaksempurnaan, tapi juga memberi warna dalam rekaman itu sendiri. Teknologi digital juga memfasilitasi sejumlah hal lain dalam proses rekaman, termasuk membuat sampel dari beberapa bagian musik pendek dengan menggunakan keyboard dari synthesizer, drum pad, juga bahkan suara manusia dengan mikrofon yang kemudian disimpan dalam bentuk MIDI. Berbagai instrument digabung bersama sehingga menjadi sebuah komposisi yang tersimpan dalam memori computer. Sampel memungkinkan untuk dimanipulasi menjadi sumber suara pada skala yang belum pernah mungkin . Teknik sampling merupakan cara efektif dalam mengambil suara dari konteks aslinya dan mereka ulang menjadi potongan-potongan, sehingga menghasilkan produk musik baru.
Hadirnya EDM di blantika industry musik popular dunia dari sudut pandang teori postmodern, merupakan kecenderungan kearah perpaduan secara eksplisit dan terang-terangan terhadap berbagai macam aliran dan genre musik secara langsung dan sadar (Hebdige, 1987). Perpaduan ini berkisar antara perpaduan ulang secara langsung dari lagu-lagu yang sudah direkam dari era yang sama atau berbeda pada rekaman yang sama, sampai mengambil dan ‘mencicipi’ musik, bunyi dan instrument yang berbeda dengan tujuan menciptakan identitas subcultural yang baru.
Kreativitas dalam EDM telah menghasilkan perubahan besar peran seorang musisi, khususnya DJ. Seorang DJ dapat melakukan re-mixing beberapa hasil rekaman suara artis yang sudah ada dan membuat interpretasi baru dengan mengolah dan menyusun menjadi trek baru. Hal ini kemudian menjadikan pengaburan peran yang jelas sekali tampak dalam produksi EDM. Seorang DJ sekarang dapat mengklaim dirinya sebagai komposer, arranger, produser sekaligus artis.
Ini menarik dibahas jika ditarik dari pendekatan postmodern, bahwasanya tak hanya musik yang dicampur melampaui batas, bahkan peran musisi dalam hal ini DJ juga terjadi pengaburan, tentunya berbeda dengan rock band atau group musik konvensional. Pergeseran peran ini memberi konsekuensi bagi seorang DJ. DJ Melechi (1993) menyatakan bahwa generasi muda mulai bosan dengan konvensi pertunjukan rock; sehingga memunculkan scene tanpa bintang, tontonan dan identifikasi (Bennet, 2001). DJ sebagai status memungkinkan untuk membuang konvensi prestise, dan pujian yang sering diterima rock star.
Identitas subkultur pun terbentuk searah dengan postmodernisme yang melingkari. Subkultur dipahami sebagai gejala budaya dalam masyarakat yang umumnya terbentuk berdasarkan usia dan kelas. Secara simbolis diekspresikan dalam bentuk penciptaan gaya (style) dan bukan hanya merupakan penentangan terhadap hegemoni atau jalan keluar dari suatu ketegangan social (Chris Barker,2008)
DWP dan Dreamfield yang meramaikan pasar musik Indonesia merupakan ajang legitimasi kemeriahan pesta EDM. DWP, Dreamfield, Ultra dan masih banyak event pesta EDM diibaratkan sebuah karnaval dimana semua suara berada dalam satu irama. Tak ada ras yang lebih tinggi dari ras lain, tak ada laki dan perempuan, semua individu menyatu dalam kebersamaan. Tawa dan hirarki social melebur dan membaur tanpa batas dalam hentakan irama.
‘Verse 2’
Kembali ke lagu ‘Ora Minggir Tabrak’ yang bergenre EDM, dihadirkan kembali oleh Kill the DJ yang diprakarsai oleh Marzuki Mohammad (Pendiri Jogja Hip-Hop Foundation) mengaku bahwa terinspirasi dari pengalaman masa kecil. Lagu tersebut menurut Marzuki Mohammad dalam sebuah wawancara pas buat AADC 2 sebab hidup memang seperti ini, kalau tidak minggir pasti ketabrak. Begitu pun dengan masa sekarang dimana kita tidak dapat berdiam diri sedangkan waktu terus berjalan dan kehidupan berlanjut (Marzuki, 30 April 2016).
Bagi pendiri Jogja Hiphop Foundation, lagu ‘Ora Minggir Tabrak’ memiliki arti yang sangat mendalam dalam kisah Rangga dan Cinta (Tokoh dalam AADC2). Sebab pada saat terpisah keduanya harus tetap menjalani hidup masing-masing sampai akhirnya kembali dipertemukan di AADC 2 dan begitulah filosofi hidup yang dituangkan Kill The DJ dalam lagunya yang dimaknainya jika kamu tidak melanjutkan hidup maka kamu akan tertabrak.
Kill the DJ memulai karir bermusik sejak 2001, dan mendirikan Jogja Hip-Hop Foundation (JHF) pada tahun 2003. Marzuki mengaku bahwa perkembangan Rave Party di Yogyakarta menjadi alasan utama mengapa memilih jalur EDM. Nama Kill the DJ dipilih karena penolakannya terhadap tokoh idola (DJ) dan sudah saatnya menginsprasi diri dengan apa yang dimiliki, sehingga JHF hadir sebagai ruang tanpa tembok yang menaungi para pecinta musik hip hop di Yogyakarta (Marzuki,23 Juli 2014). Yogyakarta dengan kultur budaya Jawa mengenal pantun yang sering disebut parikan, dan parikan inilah yang kemudian dikembangkan oleh JHF sebagai teks lagu yang dinyanyikan.
AADC2 film remaja yang disutradari oleh Riri Reza, menceritakan tentang kisah persahabatan empat orang perempuan dengan warna kehidupan cinta salah satu tokohnya yang bernama Cinta. Kisah dimulai ketika empat orang perempuan mengadakan perjalanan wisata ke kota Yogyakarta. Yogyakarta sebagai destinasi wisata memiliki banyak tempat yang menarik untuk dikunjungi. Hanya saja dalam kisah tersebut tempat yang dikunjungi pertama adalah tempat hiburan malam, bukan Kraton dan tempat bersejarah lainnya. Rave Party menjadi scene pertama kunjungan wisata yang dilakukan empat sahabat perempuan tersebut.
Rave Party menjadi daya tarik hiburan yang jarang dibicarakan, meski pada kenyataannya spanduk-spanduk yang menawarkan hiburan dan minuman sering dijumpai di sudut kota. Ada satu hal yang dengan mudah membedakan antara Yogyakarta dengan Jakarta. Di Jakarta, kota metropolitan, terutama pada jalan-jalan utama sepanjang bandara ke pusat kota Sudirman – Thamrin, di beberapa tempat akan menemukan baliho atau spanduk bernuansa acara keagamaan, seperti pengajian oleh para Habib dan acara-acara keagamaan lainnya. Sebaliknya, di Yogyakarta, kota yang menurut banyak orang kota budaya dan pendidikan, akan sulit menemukan spanduk serupa, karena akan lebih sering menemukan spanduk atau baliho dari berbagai tempat hiburan malam yang menawarkan musik, (sexy) dance dan juga minuman keras, yang seringkali ditawarkan dengan terang-terangan berapa harga per botolnya. Ini sebenarnya bukan fenomena baru, karena sejak awal millenium yang lalu sepertinya sudah muncul berbagai spanduk serupa, seiring dengan munculnya berbagai tempat hiburan di Yogya.
Lagu ‘Ora Minggir Tabrak’ yang dinyanyikan Kill the DJ dalam scene Rave Party, memiliki banyak makna jika dianalisis secara tekstual. Parikan yang biasanya untuk tembang dolanan anak berubah makna dan fungsi dalam ruang berbeda. Apabila dicermati teks lagu ‘Ora Minggir Tabrak’ memiliki makna filosofis yang mendalam jika dikaitkan dengan kondisi social masyarakat yang tampak saat ini. Berikut lirik lagu ‘Ora Minggir Tabrak’:
Nggir Ra Minggir Tabrak (Minggir kalau tidak minggir akan tertabrak)
Mijil-tuwuh, urip-urup, muksa-pati (Lahir-Tumbuh, Hidup-Menghidupi, Hilang-Mati)
Esuk-awan, surup-sirep, rina-wengi (Pagi-Siang, Senja-Menghilang, Siang-Malam)
Saiki, neng kene, ngene, dilakoni (Sekarang, di sini, begini, dijalani)
Semeleh, kudu gelem, lan nggelemi (Ikhlas, harus mau, dan memang mau)
Wiji wutuh, wutah pecah, pecah tuwuh, wiji maneh (Biji utuh, jatuh pecah, pecah tumbuh, kembali menjadi biji)
Laku, lakon, dilakoni kanthi semeleh (Laku, perjalanan, dijalani dengan ikhlas)
Obah mamah, mingset nggeget, nyikut nggrawut, ngglethak penak (Bergerak makan, mengecil menggigit, sikutan cakaran, rebah nyaman)
Nggir ra minggir tabrak wong urip kudhu tumindak (Minggir kalau tidak minggir akan tertabrak, hidup harus dijalani)
Lirik tersebut tampak pas jika dilihat dari perjalanan cinta tokoh Rangga dan Cinta, dimana pada awalnya terpisah dalam jarak dan ruang, serta banyak persoalan yang masih belum terselesaikan namun hidup terus berjalan. Hingga pada akhirnya mereka dipertemukan dan masalah terpecahkan dan hidup tetap terus berjalan. Jika dikontekskan dengan kondisi social masyarakat Yogyakarta yang lebih luas, hadirnya Rave Party ditengah identitas budaya yang masih diagungkan tentunya menjadi dua hal yang bertolak belakang, tapi hidup terus berjalan pertarungan ekonomi menjadi hal yang patut diperhitungkan. Pasar menuntut hadirnya ruang baru yang menawarkan kebebasan.
‘Chorus’
‘Ora Minggir Tabrak’ sebagai sebuah teks dianalisis dengan pendekatan kritis. Lagu genre EDM tersebut dalam soundtrack film yang menarasikan perjalanan wisata di kota Yogyakarta dalam scene Rave Party mengisyaratkan realita hadirnya hiburan malam sebagai destinasi wisata yang diperhitungkan di Yogyakarta.
Kepanikan moral yang biasa didengungkan tertembus batas kebutuhan pasar. Max Richter dalam tulisan Dunia lain di Yogyakarta: Dari Jatilan hingga Musik Elektronik menyebutkan bahwasanya musik elektronik menciptakan zona otonomi temporer, yang membebaskan para peserta dari kungkungan Negara dan kekuasaan komersiil. Pertunjukan di zona komersiil di Yogyakarta pada derajat tertentu memperbolehkan para peserta untuk menantang dan melewati peran gender yang dibatasi oleh konservatisme Negara dan komodifikasi global (Ariel Heryanto, 2012). Perempuan dalam citra masa kini telah dibebaskan dari belenggu aturan moral. Empat tokoh perempuan dalam AADC 2 mempertegasnya bahwa lantai dansa adalah milik siapapun yang ingin melantai. Batas-batas belenggu moral tampak telah ditembus oleh ruang-waktu. ‘Ora Minggir Tabrak’ secara tekstual menggambarkan hal tersebut.
‘Ending’
EDM telah menjelajah dunia muda dengan berbagai bentuk sesuai dengan ruang dan waktu. Bermula dari klub dengan disko kemudian mewabah tanpa batas ke seluruh penjuru dunia. EDM sebagai sebuah budaya anak muda sangat fluid, banyak formasi berkelindan dimana hal tersebut selalu melebihi setiap upaya memetakan hadirnya.
EDM sebagai budaya anak muda telah mendobrak nada dalam legitimasi kemeriahan karnaval dimana semua suara berada dalam satu irama. Tak ada ras yang lebih tinggi dari ras lain, tak ada laki dan perempuan, semua individu menyatu dalam kebersamaan. Tawa dan hirarki social melebur dan membaur tanpa batas dalam hentakan irama. Electronic Dance Music menawarkan perlawanan dan kebebasan.
Daftar Pustaka
Barker, C. 2004. Cultural Studies, Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Bennet, A. 2001: Cultures of Popular Music. Open University Press.
Cohen, S. 1987: Folks Devils and Moral Panics: The Creation of the Mods and Rockers, 3rd edn. Oxford: Basil Blackwell.
Danesi, M. 2008: Popular Culture: Introductory Perspectives. Rowman & Littlefield Publishers Inc.
Gill, A. 1997: We can be a heroes. Mojo, 41, April: 54-80.
Hebdige, D. 1987: Cut n Mix: Culture, Identity and Caribbean Music. London: Routledge.
Melechi, A. 1993: The Ecstasy of Disappereance, in Redhead 1993
Readhead, S. (ed). 1993: Rave Off: Politics and Deviance in Contemporary Youth Culture. Aldershot:Avebury
Strinati, D. 2007: Popular Culture. Yogyakarta: Jejak.