Pakacaping: hiburan dalam terjangan ombak

Pada sebuah malam, seorang kawan menyapa melalui pesan singkat dan meminta saya berbicara tentang musik tradisi Sulawesi Selatan. Saya yang tengah tidur dan kemudian bangun karena bunyi pesan tsb, tanpa pikir panjang dan setengah tidak sadar menyanggupinya. Malam itu, begitu menyadari kesanggupan, pikiran menerawang berpikir keras apa yang harus saya lakukan nanti. Apa yang akan saya bahas nanti?. Mencoba mengais semua kisah tentang Sulawesi Selatan, sebuah negeri yang jauh dan jujur saya belum pernah menginjak tanahnya. Keesokan pagi, saya kirim pesan kembali ke teman yang meminta saya berbicara tentang musik Sulawesi Selatan, dia membalas beberapa jam setelahnya, mengatakan bahwa ini diskusi santai yang mengangkat tema besar mitos Sawerigading.

Saya terlahir di sebuah kota yang bernama Jogjakarta, seluruh waktu saya  habis di kota tersebut. Melintasi ruang bukan menjadi kebiasaan, tetapi tak jarang saya lakukan. Satu-satunya pengalaman yang saya miliki mengenai Sulawesi Selatan adalah saya pernah menyanyikan lagu angin mamiri dengan memakai baju adatnya dalam rangka menyambut rombongan tamu dari Jepang, juga pernah belajar bermain kacapi, memukul gandrang, juga lea-lea, itupun hanya satu lagu (indologo). Selain itu, saya ingat pernah membeli sebuah Kacapi yang kata penjualnya (teman kuliah) kacapi tsb barang bagus, karena sebelumnya milik seorang  bangsawan Makassar, teman kuliah saya menjual kecapi bagus itu karena kehabisan uang untuk bayar tagihan kos. Tanpa berpikir panjang Kecapi tersebut saya beli karena bentuknya unik dan ada ukiran indah di bagian ujungnya dan akhirnya menjadi hiasan tembok rumah saya.

Kembali ke bahasan musik tradisi Sulawesi Selatan, selain pengalaman yang saya miliki tadi, tidak ada lagi yang dapat saya ceritakan. Akhirnya saya mencoba searching bagaimana kehidupan bermusik masyarakat Sulawesi Selatan. Laman pertama yang saya dapat adalah Kementerian Pariwisata mengagendakan Festival Musik Jazz @ Fort  Rotterdam di setiap tahun. Wow…..dan ini rangkuman beritanya.

Pagelaran Jazz@Fort Rotterdam sebagai salah satu program tahunan promosi wisata, seni dan budaya bagi daerah Sulawesi Selatan, Benteng Fort Rotterdam Makassar yang adalah salah satu situs sejarah dan seni budaya yang ada di Sulawesi Selatan. Kedengarannya sangat “wah”, apalagi dengan kehadiran para musisi jazz papan atas Indonesia.

Musik Jazz lahir dari tangan-tangan kreatif orang-orang hitam yang mengalami penindasan dan perbudakan di Amerika pada akhir abad ke-18. Ekspreasi dari sebuah perlawanan terhadap sistem politik yang rasis dan menindas terwujud dalam cara bermusik dan gaya permainan orang-orang hitam Amerika. Sejarah telah mencatat bahwa perbudakan dan diskriminasi rasial di Amerika justru melahirkan musik-musik perlawanan seperti Spiritual, gospel dan blues. Gejala ini dapat diinterpretasikan sebagai sebuah resistensi budaya orang hitam terhadap Westernisasi, baik dari segi agama, kultur politik hingga cara bermusik, karena sebelum dibawa ke Amerika orang-orang hitam telah memiliki kebudayaan khas Afrika.

Pada awalnya spirit musik atau ideologi dibalik jazz adalah pembebasan diri orang Afro-Amerika dari belenggu struktur sosial-politik represif yang dituangkan dalam ekspresi nada, harmoni, dan gaya permainan bermusik. Sebagai contoh, ragtime yang menjadi titik awal perkembangan jazz klasik (march, waltz dan polka), swing merupakan modifikasi dari ragtime, free jazz merupakan reinterpretasi dari bebop dan world music merupakan dekonstruksi jazz mainstream. Dalam perkembangan lebih lanjut spirit jazz diinterpretasikan tidak hanya sebatas perlawanan politis, tetapi menjadi gerakan liberalisasi atau dekonstruksi bermusik dalam rangka mencari ruang gerak, alternatif cara, dan gaya permainan lain.

Gaung globalisasi sudah mulai terasa sejak akhir abad ke-20, telah membuat masyarakat dunia, termasuk bangsa Indonesia, harus bersiap-siap menerima kenyataan masuknya pengaruh luar terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa.  Salah satu aspek yang terpengaruh adalah kebudayaan.  Bagi bangsa Indonesia aspek kebudayaan merupakan salah satu kekuatan bangsa yang memiliki kekayaan nilai yang beragam, termasuk keseniannya.  Kesenian rakyat, salah satu bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia tidak luput dari pengaruh global, sehingga perlu melakukan pengembangan  diri, baik dari para senimannya, maupun dari karya-karya ciptaannya.  Pengembangan terhadap seninya sendiri antara lain dapat ditingkatkannya sumber daya manusia para seniman rakyat, di antaranya melalui berbagai pendidikan di bidang seni dan peningkatan kreativitas dalam mencipta.  Selain itu, peran pemerintah diperlukan sebagai pelindung kesenian tradisional tanpa harus mempengaruhi karya-karya kesenian rakyat itu dengan misi-misi kebijakannya. Gambaran di atas menunjukkan bahwa pengaruh dunia luar adalah sesuatu yang wajar dan tidak perlu ditakutkan.  Pengaruh tersebut selamanya mempunyai dua sisi: positif dan negatif.  Masalahnya adalah bagaimana kita, bangsa Indonesia, dapat mengurangi dampak negatif dan sebaliknya, meningkatkan dampak positif yang ada.

Pagelaran Jazz@Fort Rotterdam ternyata mampu menembus benteng pertahanan seni budaya lokal daerah Sulawesi Selatan bahkan menanam benih di dalamnya, sehingga musik jazz dapat menjadi embrio kearifan seni budaya lokal daerah Sulawesi Selatan, dan “mereka” para pelaksana dan pemerintah yang mendukung acara ini telah mengagendakan Jazz@Fort Rotterdam sebagai ajang promosi pariwisata daerah Sulawesi selatan. Pertanyaannya adalah: bagaimana dengan seni budaya asli daerah Sulawesi Selatan?

Apakah pemerintah daerah Sulawesi Selatan dan pemerintah kota Makassar sadar bahwa musik jazz adalah musik impor?

Mungkin kalau diajukan ke pelaksana Jazz@Fort Rotterdam apakah anda mengusung seni budaya daerah Sulawesi Selatan? Tentu kata mereka ada. Ya, kan ada kelompok jazz asal Makassar yang menggunakan nama kelompok mereka dalam bahasa daerah Sulawesi Selatan, kan ada juga group band asal Makassar yang memakai gendang makassar  dan kecapi dalam bermain musik jazz, namun hanyalah ornamen dalam konteks pertunjukkan musik jazz ini.

Sebagai pembaca dengan keminiman pandangan mengenai musik tradisi yang ada disana, berita ini sangat menyedihkan. Ironi bukan?. Tidak percaya dengan hanya satu berita saya coba buka laman lain, masih dalam berita yang sama. Setelah beberapa laman saya buka, saya baru mendapat kisah mengenai eksistensi pakacaping, rangkuman sebuah buku karya Amir Razaq, yang tak lain dan bukan adalah teman sekantor saya. Dia putra daerah yang kini mengabdi untuk negeri, dan dialah yang mengajari saya bermain Kacapi.

Musik Pakacaping, pada awalnya adalah musik yang dilantunkan seorang pelaut Bugis yang telah berhari-hari berlayar di laut lepas meninggalkan gadis pujaan hatinya di darat, tiba-tiba badai datang dan tali perahu yang terikat dilayar berbunyi diterpa angin kencang. Bunyi yang amat indah menimbulkan kerinduan mendalam pada kekasih yang ditinggal. Begitu badai berlalu, sang pelaut mengambil sebagian tali layarnya lalu diikatkan pada dayung perahu, kemudian dipetik dengan iringan lagu. Setelah kembali ke darat, dibuatlah sebuah alat bunyi yang berbentuk perahu dua tali yang dipetik dan dibuatkan syair-syair.

Awalnya Pakacaping merupakan permainan untuk menghibur diri sendiri di waktu senggang. Pemain kecapi menikmati petikan-petikannya sendiri, tanpa ada kebutuhan pendengar. Namun dalam perkembangannya Pakacaping menjadi seni pertunjukan dalam berbagai konteks adat istiadat. Pakacaping hadir dalam setiap upacara adat  dan merupakan bagian dari semangat untuk menjamu dan menghormati setiap orang yang datang menghadiri pesta upacara yang dilaksanakan. Permainan kecapi ini sampai  saat ini masih dapat disaksikan di beberapa acara-acara adat, seperti pesta adat upacara perkawinan, khitanan, sunatan, hari-hari besar kerajaan, hari-hari besar kenegaraan,dalam rangka festival budaya, dan bahkan dalam acara pertunjukan yang dikelola khusus secara konvensional.

Tradisi melaut bagi orang Sulawesi Selatan memang sangat terkenal, menerjang ombak menempuh badai  seolah menjadi kebiasaan. Tak heran jika kita bisa temukan kampung Bugis di setiap daerah, baik di Indonesia ataupun luar negeri. Tradisi melintasi ruang ini menurut sejarah sastra dimulai sejak Sawerigading. Sawerigading  adalah  Putera Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai. Sawerigading berhasil ke negeri Tiongkok dan memperisteri Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di negeri Tiongkok, Sawerigading kembali kekampung halamannya dengan menggunakan Pinisinya ke Luwu. Menjelang masuk perairan Luwu kapal diterjang gelombang besar dan Pinisi terbelah tiga yang terdampar di desa Ara, Tanah Beru dan Lemo-lemo.

Mengingat Pakacaping menjadi sebuah hiburan saat di lautan, dan melaut menjadi sebuah budaya bagi nenek moyang masyarakat Sulawesi Selatan, sebuah pertanyaan muncul, kenapa tradisi Pakacaping tidak begitu dikenal dan menyebar di seluruh penjuru negeri, bukankah kampung Bugis ada dimana-mana?. Dan kenapa justru musik Jazz yang notabene sejarah mencatat sebagai musik perlawanan bangsa lain menjadi agenda pariwisata di Sulawesi Selatan? Ada apa dengan Jazz?.

Makassar merupakan sebuah kota besar di kawasan timur Indonesia yang mengalami pergulatan sejarah yang cukup panjang. Sejarah mencatat, di kota ini pernah berdiri Kerajaan Gowa Tallo yang dibangun bangsa Bugis-Makassar di abad 16. Hal ini, misalnya, ditunjukkan dengan keberadaan beberapa situs penting yang dimiliki kota ini. Selain menjadi bukti kebesaran, banyak di antara bangunan tua itu juga menjadi saksi bisu kegigihan bangsa Bugis Makassar melawan kolonialisme. Makassar adalah salah satu kota terbesar setelah Jakarta, bahkan ditangarai sebagai kota paling ramai dan terpadat di Indonesia bagian timur.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi memacu Makassar untuk tumbuh menjadi pusat-pusat ekonomi. Sesuatu yang pada gilirannya disusul oleh bangkitnya kelas menengah baru dan euforia konsumsi di satu sisi, tapi di sisi lain semakin lebarnya tingkat kesenjangan sebagaimana tampak dari meningkatnya kelompok gelandangan, pedagang informal, dan kaum marjinal lainnya. wajah Makassar kontemporer secara telanjang memunculkan paradoks. Dari sini kita bisa melihat Makassar tidak terlepas dari gesekan-gesekan dalam banyak segi, baik spasial, ekonomi, sosial maupun kultural.

Orang awam menganggap bahwa musik jazz di Indonesia masih merupakan barang mahal dan elit. Lihat saja realitanya. Saat ini jarang sekali ditemui pertunjukan musik jazz di Indonesia. Kalaupun ada, pertunjukan itu cenderung berlangsung di kafe-kafe atau di hotel berbintang. Mereka yang menikmati adalah kaum borjuis. Musik jazz dianggap elit karena memang tidak banyak penggemarnya. Untuk benar-benar memahami musik jazz juga diperlukan waktu untuk belajar yang cukup lama. Maka cenderung yang menyukai musik jazz adalah orang-orang dari latar belakang pendidikan, seperti mahasiswa dan kalangan akademis lainnya. Dilema yang terjadi di Indonesia bahwa menikmati musik jazz dijadikan sebagai gaya hidup atau pola hidup seseorang. Ada kalangan tertentu yang terpaksa mendengar musik jazz hanya agar dipandang sebagai kaum borjuis. Hal inilah yang sering terjadi pada kafe-kafe atau pub.

Musik Jazz didefinisikan sebagai bentuk “seni musik yang berasal dari Amerika Serikat melalui konfrontasi orang kulit hitam dengan musik Eropa”. Dalam jazz, seorang musisi menafsirkan sebuah lagu dengan cara yang sangat individu, tidak pernah memainkan komposisi yang sama persis dengan cara yang sama dua kali. Tergantung mood pemain dan pengalaman pribadi, interaksi dengan sesama musisi, atau bahkan anggota audiens. Jazz sering ditandai sebagai produk kreativitas egaliter, interaksi dan kolaborasi, menempatkan nilai yang sama pada kontribusi dari komposer dan pelaku.

Dari paparan di atas tampak persamaan dan perbedaan antara Pakacaping dan Jazz. Keduanya menampilkan ekspresi musisi, tetapi dalam kondisi yang berbeda. Ratapan akan kerinduan kampung halaman, jarak yang jauh dengan kekasih hati menjadi utama dalam tema-tema Pakacaping. Ini berbeda dengan musik Jazz yang mengutamakan ekspresi diri, ekspresi kebebasan yang tanpa batas, bebas dari segala represi.

Ekspresi kebebasan yang ditampilkan dalam Jazz membawa musik ini menyebar ke seluruh pelosok dunia. Keinginan terbang tanpa batas, membuat Jazz akhirnya mudah diterima di segala kalangan. Apalagi di Indonesia, sosialisasi bahwa musik ini elit membuat musik ini diminati sebuah kelas tertentu. Karenanya untuk melegitimasi sebuah sistem kelas musik ini dihadirkan di daerah-daerah dalam bentuk festival. Menjadi sangat aneh sebenarnya, tapi inilah lifestyle atau gaya hidup.

Kota Makassar yang  metropolitan, membuat musik Jazz ini tumbuh subur. Hadirnya tempat-tempat eksklusif seperti cafe dan pub yang menampilkan pertunjukan Jazz tentunya menjadi sangat mudah di jumpai. Ekspresi kebebasan yang ditawarkan  Jazz jauh lebih menarik dibanding ekspresi ratapan Pakacaping. Inilah kondisi sebenarnya, Pakacaping hadir diantara deburan ombak, dan kini masih harus menerjang ombak dalam badai globalisasi.

Citra  , 2012

8 thoughts on “Pakacaping: hiburan dalam terjangan ombak

  1. Thanks for the sensible critique. Me & my neighbor were just preparing to do just a little research about this. We got a grab a book from our area library but I think I learned much more from this post. I

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *