Etnomusikologi di Indonesia

Etnomusikologi di Indonesia

Oleh Citra Aryandari*

Di penghujung 2015 disiplin Antropologi mulai dipertanyakan kedudukannya karena kurangnya minat generasi muda untuk menekuni disiplin ini. Proses penelitian yang lama dan kurang menghasilkan uang disinyalir sebagai penyebab utama di era yang serba cepat. Menjadi persoalan kemudian disiplin lain yang merupakan turunan dari antropologi, yakni etnomusikologi. Disiplin ilmu yang menggabungkan dua disiplin Antropologi dan Musikologi, yang hingga kini di Indonesia masih berjuang mencari format.

Etnomusikologi di Indonesia belum begitu dikenal,    selain di ISI Yogyakarta, etnomusikologi juga menjadi program studi di ISI Padang Panjang, Universitas Sumatera Utara, STSI Bandung (sekarang ISBI Bandung), Institut Kesenian Jakarta, ISI Surakarta, ISI Denpasar, hingga ISBI di Kalimantan. Namun, meski telah didistribusikan dalam beberapa institusi pendidikan perlu disadari bahwa dalam perjalanannya disiplin ini cukup lambat berkembang.

Padahal Indonesia memberi sumbangsih terhadap kelahiran disiplin ilmu ini. Pada awalnya dengan kacamata kolonial etnomusikologi mendeskripsikan musik-musik eksotis sebuah bangsa atau etnis dengan membandingkannya terhadap musik Barat yang sudah establish. Kajian ini diperkenalkan oleh Jaap Kunst, peneliti Belanda yang mengkaji gamelan Jawa (1959). Dampak yang terjadi ketika disiplin etnomusikologi masuk ke ranah keilmuan Indonesia, paradigma eksotisme orientalis ini ikut dibawa.

Eksotisme

Eksotisme orientalis adalah gagasan yang bisa dibilang merendahkan karena bersalut semangat kolonialisme atau penjajahan ala Eropa. Pandangan ini menganggap budaya di luar Eropa primitif dan tidak mapan. Etnomusikologi masa awal sempat menganut pandangan ini saat membandingkan musik eksotis nusantara dengan musik klasik Eropa yang menurut mereka lebih adiluhung.

Menariknya, di luar negeri etnomusikologi sudah mengalami berbagai perkembangan. Bruno Nettle (1969) memperjelas kedudukan etnomusikologi di ranah keilmuan, hingga kini terus menerus berkembang beriringan dengan dinamika perkembangan jaman, dan kian mencapai pada posisinya yang tanpa batas.

Tidak melulu mengenai musik tradisi, etnomusikologi telah menghilangkan mental eksotisme orientalis, tidak lagi menandingkan budaya tradisi dengan kaca mata barat. Di barat, tempat lahirnya, etnomusikologi sudah meleburkan batas antara tradisi dan populer sebagai kesatuan utuh: musik adalah sebuah produk budaya yang berkembang secara dinamis sesuai era yang ada.

Ironis, perkembangan setengah hati etnomusikologi di Indonesia menyebabkan kita terus menerus sekadar dijadikan “objek” oleh peneliti Barat, tetapi belum mampu menjadi “Subjek” yang secara mandiri meneliti dan memahami musik Indonesia sendiri. Alih-alih secara sangkil meneliti beragam musik nusantara, akademisi etnomusikologi kita seolah justru sibuk menjadi perpanjangan tangan program pariwisata pemerintah yang gemar menjual jargon ‘eksotisme budaya bangsa’ demi devisa dan decak kagum negara lain.

Hasil penelitian tentang musik Indonesia begitu beragam dalam catatan keilmuan etnomusikologi, tetapi bukan lahir dari etnomusikolog Indonesia. Sebagai contoh, kajian musik populer di Indonesia justru ditulis oleh peneliti barat Jeremy Wallach dalam buku Modern Noise, Fluid Genres (2008). Katalog perpustakaan berbagai universitas di Belanda seperti Leiden atau Universteit van Amsterdam menyimpan tulisan penelitian musik Indonesia seperti Max Richter yang meneliti musik jalanan di Yogyakarta (2012).

 

Refleksi

Penguatan jalinan di bidang pendidikan sangat penting dalam proses mengubah posisi setara dari objek menjadi Subjek di kancah internasional. Institusi pendidikan yang menawarkan program studi etnomusikologi hendaknya mulai mengevaluasi konten keilmuannya

Membuka diri terhadap perkembangan adalah syarat yang tak terelakkan. Kerja sama internasional dengan institusi pendidikan yang serupa dapat membentuk komunikasi dialektis sehingga idealisasi kurikulum bersumber pada dasar-dasar mutakhir serta standar internasional dapat terwujud. Ini dapat meningkatkan mutu akademisi etnomusikologi dengan segudang pengalaman dan informasi dari berbagai sumber internasional.

Dalam kancah kenegaraan, harapan terbesarnya ialah agar Indonesia mampu menunjukkan segudang potensinya sebagai Subjek yang aktif bersuara dan berdialog dengan setara. Agar promosi budaya tidak lagi dilakukan dengan hanya menyuguhkan tampilan “eksotisme” sebagai tontonan demi secuil ‘kekaguman’ penduduk belahan lain dunia.

Etnomusikologi di Indonesia harusnya dapat merefleksikan diri: siapkah membuka diri menyongsong perubahan paradigma etnomusikologi ini agar mampu menjadi Subjek mandiri yang mampu meneliti, menulis, dan mengembangkan musik nusantara secara berdikari? Atau akan terus berdiam diri menjadi bulan-bulanan peneliti Barat.

 

*Citra Aryandari. Staf pengajar di ISI Yogyakarta. Direktur lembaga penelitian Citra Research Centre (CRC).