Latah Riset Seni

Latah Riset Seni

Oleh Citra Aryandari*

Pergantian Direktorat Pendidikan Tinggi menjadi Kementerian Riset, Teknologi  dan Pendidikan Tinggi  adalah bukti bahwa politik di Indonesia selalu berubah, perubahan ini praktis menggiring semua lini mengikuti arahnya. Meski hingga kini  (7 bulan) Perpres tersebut belum ditandatangani tetapi aroma politik ini mulai terasa di jagad pendidikan tinggi.

Bidang seni salah satunya, saat masih berada dalam naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sekian visi ditancapkan untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan. Hingga beberapa Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) pun hadir bak cendawan di musim hujan. Kini dengan bergantinya kementerian sebagai patron pendidikan, institusi seni pun mulai merambah dunia riset dan teknologi.

Perayaan Dies Natalis Institut  Seni Indonesia Yogyakarta  (ISI YK) ke XXXI tanggal 30 Mei 2015 mengangkat tema “Implementasi Seni berbasis Riset dan Teknologi”, sebuah tema yang tampak latah mengikuti dinamika politik. Karena dalam perayaan tersebut ISI YK tidak menjadi subjek yang otonom, dan tampak sedikit memaksa diri untuk secepat itu beralih langkah.

Sekian waktu dalam naungan Kemendikbud tentunya membuat seni lekat dengan jargon pelestarian budaya. Kata ‘lestari’ cenderung dipahami sebagai menolak inovasi alih-alih menerima kemajuan teknologi.

Dalam keilmuan, riset adalah syarat wajib untuk mencari jawaban dari segala persoalan. Sebagai institusi keilmuan ISI YK tentunya juga wajib melakukan ‘riset’ untuk mengurai pelbagai problematika seni. Persoalannya kemudian, bagaimana riset yang ideal dalam dunia seni? Mengingat politik yang fluid dalam masyarakat yang liquid. Masyarakat didikte atas perubahan maha cepat di tingkat permukaan, hingga membentuk sesuatu yang dangkal (tak dalam), tentu ini berbeda dengan ideologi riset yang harus mendalam.

Clifford Geertz, antropolog yang pernah melakukan riset di Mojokuto, Bali, dan Maroko adalah idola dalam riset seni. Metode etnografi Geertz dianggap mampu menghadirkan pesona produk seni yang hidup dalam masyarakat serta mampu menguak jalinan teks yang terdapat di dalamnya. Untuk mendapatkan hasil maksimal, riset etnografi harus dilakukan dengan mendalam dalam waktu lama, oleh periset yang paham benar metode ini. Tidak bisa hanya mengandalkan periset yang sekadar menelisik permukaan.

Perubahan maha cepat menuntut manusia untuk bertindak cepat pula. Tindakan manusia yang cenderung politis dipahami sebagai sebuah gejala kekinian. Yang perlu dicermati dalam ranah riset dalam seni, lebih spesifik yang tengah dianut ISI YK, Dr. Budi Susanto SJ pada sebuah kesempatan menyatakan, bahwa riset dalam seni tentu saja tak dapat lepas dari peranan stakeholder.

Dalam era kapital Pengguna menjadi bagian penting dalam ranah kehidupan riset, hal ini dikarenakan besarnya kebutuhan pendanaan yang mau tak mau membuat kaum cendekia juga tidak mampu berdiri sebagai subjek yang otonom.  Penyandang dana memiliki kuasa menentukan arah sebuah tema.

Secara ideal riset dalam seni seharusnya mampu menangkap spirit kesenian yang ada dalam masyarakat dan mampu menghadirkan realitas tersebut dalam sebuah produk akademis yang apik. Berangkat dari realitas yang ada, kemudian menggunakan metode riset pilihan untuk menjawab persoalan yang diinginkan.

Dengan terlalu latah mengikuti agenda stakeholder sebagai patron, dikhawatirkan riset seni yang dijalankan ISI YK tidak akan mampu menjalankan riset yang ideal dengan metode yang tepat. Riset seni ini akhirnya hanya menjadi jargon demi mengikuti agenda patron, bukan untuk mengurai permasalahan seni yang urgen.

Dalam kesempatan lain Prof. Dr. R.M Soedarsono mengungkapkan pentingnya  Creativity and Knowledge dalam riset seni. Kreativitas dan pengetahuan harus saling mengisi serta seiring sejalan dan menjadi habit dalam jagad seni di perguruan tinggi.  Dengan menjadikan kreativitas dan pengetahuan sebagai “kebiasaan” maka inovasi akan muncul, sehingga seni dapat diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan tak hanya menjadi jargon yang seksi.

Perguruan tinggi seni sudah selayaknya hadir sebagai subjek mandiri yang mampu menempatkan politik secara otentik. Tampak sedikit utopis tetapi pergerakan jaman yang dinamis mulai mempertanyakan kembali redefinisi subjek. Seharusnya ISI YK menggodok dengan matang wacana riset seni ini, menggembleng staf pengajar, mahasiswa, dan akademisi yang bernaung di bawahnya untuk melakukan riset yang ideal.

Semoga ISI YK mampu mengimplementasikan seni yang berbasis riset dan teknologi tanpa terjebak fluiditas politik. Jika tidak, dikhawatirkan wacana ini sekadar jadi jargon seksi, persis jargon pelestarian budaya semacam ISBI yang sempat dianut karena patron pendidikan tinggi mengarahkan ISI YK ke sana.

 

*Citra Aryandari. Dosen jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta. Peneliti di Citra Research Center (CRC).