Fatamorgana Tionghoa: Dari Kuliner, Seni, hingga Politik

 

Perayaan Ulang Tahun Jakarta 2013 dirayakan cukup meriah. di Monas. Drama Tari kolosal yang berjudul “Ariah” sempat menyedot perhatian segenap warga Jakarta. Kehadiran Gubernur dan wakilnya menjadi moment yang ditunggu warga. Pasangan Jokowi-Ahok menjadi sangat fenomenal mengingat kerja kerasnya untuk membuat Jakarta lebih baik. Kebijakan Jokowi dalam mengelola Jakarta memperoleh perhatian lebih dari masyarakat Indonesia. Begitu pula sosok sang Wakil Gubernur, Ahok dengan keberanian dan keterbukaannya terhadap media, menjadikan pasangan tersebut dikenal seantero negeri. Terlebih Ahok adalah keturunan Tionghoa dan menjadi Wakil Gubernur Jakarta, karena tidak banyak keturunan Tionghoa dapat berkuasa di negeri ini.
Sejarah Indonesia mencatat, kebebasan berekspresi masyarakat Tionghoa dapat diterima secara terbuka setelah era reformasi. Sejak berdiri Negara Indonesia, kaum minoritas khususnya Tionghoa hanya eksis di bagian dimensi tertentu dari bagian masyarakat Indonesia. Kaum Tionghoa menenggelamkan diri di dunia ekonomi mikro Indonesia. Masyarakat Tionghoa menjadi unggul di sektor tersebut, dalam arti sebagai pemilik modal dan juga sekaligus pekerja dari bisnis perdagangan Indonesia. Di dunia musik dan industri hiburan, kaum Tionghoa selama ini cukup puas dengan perannya yang berada di belakang layar. Meski akhirnya sejalan dengan kehadiran Agnes Monica yang menjadi artis cilik di dunia hiburan bersamaan dengan rekan-rekan yang dekat dengan generasinya seperti Melissa,Joshua, Trio kwek-kwek, dll. Agnes Monica merupakan salah satu artis keturunan Tionghoa yang dalam kurun waktu 10 tahun terakhir diakui mampu beradaptasi di wilayah budaya populer di Indonesia.
Diterimanya budaya Tionghoa di negeri kita sebenarnya sudah lama terjadi tanpa kita sadari. Banyak kesenian-kesenian tradisional yang berbau budaya Tionghoa. Bahkan, kesenian tersebut telah diakui menjadi milik kesenian tradisional Indonesia. Gambang Kromong misalnya, kesenian ini baik alat musik dan lagu merupakan hasil akulturasi dari budaya Indonesia dan Tionghoa. Selain kesenian tradisional masih ada lagi kebudayaan Tionghoa yang sudah beradaptasi dengan sangat baik di negeri kita, yakni budaya kuliner. Kita tak pernah merasa keberatan dengan citarasa kuliner yang dibawa dari negeri Cina. Unsur budaya masakan Tionghoa (Cina) juga dapat ditemukan pada beberapa masakan Indonesia. Masakan seperti bakmi, bakso, bakpao dan lumpia telah terserap dalam seni masakan Indonesia. Bakmi adalah masakan asli yang berasal dari negeri tirai bambu, bahkan akhirnya hadir dalam kemasan yang mampu menjajah kulineri dunia. Tampilan budaya Tionghoa mengisyaratkan akan sebuah rangkaian perjalanan politik yang berliku. Catatan politik Indonesia yang cukup kompleks, memaksa masyarakat Tionghoa merepresentasikan kebudayaanya dengan cara yang berbeda. Bagaimana masyarakat Tionghoa merepresentasikan kebudayaannya di negeri kita, menjadi persoalan yang menarik untuk diperbincangkan.
Tionghoa di Indonesia
Migrasi Cina ke Nusantara pada akhir abad ke-5 Masehi membawa pengaruh besar pada beberapa budaya di Indonesia, termasuk pada kuliner yang ada di Indonesia. Masakan seperti bakmi, bakso, dan lumpia telah terserap menjadi seni masakan Indonesia. Kuliner favorit seperti bakmi, bihun, kwetiau, bakwan, bakso, siomay, tekwan, kini sudah menjadi bagian dari jajanan sehari-hari orang Indonesia, dan kita lupa bahwa asalnya dari Cina. Dan kita sudah tidak lagi menyebutnya sebagai Chinese food, sebab memang sudah sedemikian merakyat. Kalau mau bicara Chinese food, masakan seperti capcay, fuyunghay, atau kwetiau pun sudah sangat dikenal di keseharian kita. Dan yang namanya rumah makan Chinese food di Indonesia sudah sangat disesuaikan dengan lidah orang Indonesia. Bahkan banyak sekali restoran Chinese food yang menyediakan menu halal, sebab memang mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Masakan Cina ala Indonesia sudah pasti disesuaikan dengan selera bangsa Indonesia, tidak murni lagi seperti selera di negara asalnya. Seperti disebut di atas, masakan Nusantara yang bercitarasa kuliner Cina sudah banyak yang halal, tidak lagi mengandung babi. Tentu saja agar pas dengan lidah kita, masakan Cina ditambahi cabai atau santan. Siomay yang mirip dimsum itu dipadukan dengan sambal kacang, agar pas dengan selera orang Indonesia. Juga mie goreng yang lebih spicy dibanding mie ala Cina yang sesungguhnya. Banyak yang bilang capcay, fuyunghay ala Indonesia terasa lebih manis dan pedas dibandingkan dengan masakan serupa di negara asalnya.
Pengaruh budaya Tionghoa di Indonesia tak hanya memasuki jagad kuliner saja, melainkan juga pada pada dunia seni tradisional Indonesia. Seluruh warga negara Indonesia pastinya sepakat bahwa Gambang Kromong merupakan kesenian asli Betawi. Padahal apabila kita urai bersama gambang kromong merupakan perpaduan serasi antara unsur-unsur pribumi dengan unsur Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa tampak pada alat-alat musik gesek yaitu sukong, tehyan, dan kongahyan. Bilahan gambang yang berjumlah 18 buah, biasanya terbuat dari kayu suangking, atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh pencon). Tangga nada yang digunakan dalam gambang kromong adalah tangga nada pentatonik Cina, yang sering disebut salendro Cina. Instrumen pada gambang kromong terdiri atas gambang, kromong, gong, gendang, suling, kecrek, dan sukong, tehyan, atau kongahyan sebagai pembawa melodi.. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendaharaan lagu-lagunya. Lagu-lagu yang dibawakan pada musik gambang kromong adalah lagu-lagu yang isinya bersifat humor, penuh gembira, dan kadangkala bersifat ejekan atau sindiran. Pembawaan lagunya dinyanyikan secara bergilir antara laki-laki dan perempuan sebagai lawannya. Awal mula terbentuknya orkes gambang kromong tidak lepas dari seorang pemimpin komunitas Tionghoa yang diangkat Belanda (kapitan Cina) bernama Nie Hoe Kong (masa jabatan 1736-1740). Penyebaran gambang kromong di DKI Jakarta maupun di daerah sekitarnya (Jabotabek) dapat dikatakan merata, sebab jika terdapat lebih banyak penduduk peranakan Tionghoa dalam masyarakat Betawi setempat, maka terdapat lebih banyak pula grup-grup orkes gambang kromong.
Tionghoa atau Cina?
Istilah Tionghoa hanya ditemukan di Indonesia karena lahir dari pelafalan “Zhong Guo” dalam Bahasa Indonesia dan dialek Hokien (yang digunakan di Provinsi Fujian, dari mana banyak etnis Tionghoa di Indonesia berasal). Oleh karena itu, kedua istilah tersebut tidak didapatkan di negara-negara tetangga yang bahasanya juga mempunyai akar bahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Pada permulaan Abad ke-19, masyarakat Tionghoa di Indonesia membangun organisasi-organisasi dan sekolah-sekolah sebagai upaya untuk pengenalan lebih mendalam terhadap tanah leluhur. Dalam proses tersebut, penyebutan “Cina” (pada saat itu ditulis “Tjina”) dikurangi karena dianggap merendahkan. Sebagai gantinya, istilah “Tiongkok” digunakan untuk penyebutan negara, dan “Tionghoa” untuk sebutan orang. Pada tahun 1910, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan undang-undang kewarganegaraan dan menyebut masyarakat Tionghoa dengan terminologi “Cina”. Dari perspektif masyarakat Tionghoa di Indonesia, penggunaan istilah “Cina” merupakan bentuk penghinaan, terutama karena masyarakat Tionghoa di Indonesia status kelasnya diletakkan lebih rendah dari orang Barat dan Jepang. Dan kemudian istilah “Cina” menjadi akrab ditelinga kita dibanding istilah “Tionghoa” sampai pada rezim Soeharto. Tidak lama setelah Soeharto jatuh, istilah “Tionghoa” mulai diperkenalkan masa sebagai pengganti ” Cina”, sebuah istilah yang dulu menyakitkan hati tapi resmi. Sebagian kalangan Tionghoa menyambut baik pengenalan kembali “Tionghoa” ini.
Penyebutan nama dan pelabelan merupakan alat ampuh dalam identifikasi etnis dan proses pe-liyan-an. Misalnya pelabelan resmi orang Tionghoa sebagai Cina dan non-pribumi pada masa Orde Baru bukan hanya merupakan suatu penghinaan, tetapi mengingatkan asal-usul masyarakat Tionghoa yang asing serta status sebagai bukan bagian dari Indonesia. Namun, layak dicatat bahwa nama dan label tidaklah statis, tapi senantiasa berubah. Benedict Anderson (2001) mengatakan bahwasanya sebuah bangsa adalah sesuatu yang dibayangkan, bukan sesuatu yang bersifat pasti, karenanya konsep bangsa memiliki elastisitas dan fluiditas tinggi. Dalam hal ini, sebuah bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas, karena memiliki batas yang pasti dan elastis. Lebih jauh, bangsa juga dibayangkan sebagai sebuah komunitas, karena betapa pun ditemukan suatu ketidakadilan, bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk-mendalam dan melebar-mendatar. Fluiditas tersebut tampak dalam sektor budaya. Ketaksadaran kolektif yang terjadi dalam masyarakat Indonesia akan produk kuliner, dan asimilasi kesenian tradisional menjadi bukti bahwa ranah budaya sangat cair. Ini tentu saja berbeda dengan politik ras, kondisi genetis warna kulit kaukasia yang kuning tentu saja tidak mungkin mencairkan persoalan identitas dengan pribumi. Bayangan ketionghoaan menjadi catatan penting dalam mengidentifikasi diri. masyarakat Tionghoa.
Banyak diantara masyarakat Tionghoa mengidentifikasi diri sebagai orang Indonesia dan bersumpah setia kepada tanah air Indonesia. Misalnya seperti identitas yang dilekatkan pada para atlit badminton yang menjuarai event internasional. Susi Susanti, dkk diposisikan sebagai warga negara Indonesia, meski kita tetap menyadari bahwa para atlit tersebut “liyan” karena persoalan warna kulit dan ras. Praktik pelabelan Tionghoa versus Indonesia yang diwarisi oleh generasi muda memisahkan dan mengekalkan sekat antara Tionghoa dan pribumi. Paradoksnya, dalam melakukan hal ini masyarakat Tionghoa menempatkan diri mereka sebagai ” orang asing” dihadapan “pribumi” Indonesia, namun sebenarnya merupakan identitas yang dengan mati-matian ingin dilepaskan.
Angin reformasi telah mengubah “nasib” etnis Tionghoa di Indonesia. Tidak seperti pada masa sebelumnya, masyarakat Tionghoa dapat lebih bebas berekspresi di berbagai bidang kehidupan. Sekat yang membatasi kesempatan mereka di bidang politik, budaya, dan jabatan publik menguap seiring dengan hapusnya kebijakan pembatasan yang berlaku sejak akhir 1950-an dan, terutama selama Orde Baru. Masyarakat Tionghoa di Indonesia seperti menemukan kembali identitasnya dalam kondisi demokrasi yang sedang menggeliat. Kondisi kehidupan Indonesia-Tionghoa mulai mendapatkan nafas setelah keruntuhan Orde Baru. Reformasi, Mei 1998 menjadi titik balik proses wajah ketionghoaan di negeri ini. Program pemersatuan yang didengungkan pada era Soeharto juga dinilai gagal dengan pecahnya tragedi Mei, yang banyak mengorbankan etnis keturunan Tionghoa.
Ketionghoaan merupakan identitas artifisial yang dikonstruksikan dan dipaksakan oleh pemerintah Orde Baru. Kerusuhan anti-Cina Mei 1998 yang menghancurkan itu secara gamblang menunjukkan bahwa kebijakan asimilasi rezim Soeharto telah gagal mewadahi ketionghoaan di Indonesia. Proses reformasi dan demokratisasi pasca Soeharto membuka ruang artikulasi identitas Tionghoa. Dan tampak masyarakat Tionghoa akhirnya lebih memilih bagaimana membangkitkan dan menumbuhkan rasa ketionghoaan, daripada melepaskan identitas tersebut. Kebangkitan kembali didorong oleh semakin berpengaruhnya ekonomi RRC serta semakin mengglobalnya produk-produk budaya Cina. Dengan disahkannya multikulturalisme dan pluralisme sebagai kebijakan pemerintah yang baru, banyak budaya minoritas yang sebelumnya ditekan di zaman Soeharto menuntut untuk diakui dan dirayakan sebagai bagian dari keragaman nasional. Etnis Tionghoa memanfaatkan suasana yang demokratis ini untuk membebaskan identitas dan warisan budaya mereka yang lama ditekan melalui pemulihan budaya, media, religi, dan pendidikan. Secara visual hadirnya Metro Xinwen sejak tahun 2000 berita dalam bahasa Mandarin menjadi catatan penting dalam sejarah masyarakat Tionghoa merepresentasikan budayanya.
Dalam waktu yang belum lama ini, hadirnya demam budaya KPop atau Korean Pop di generasi muda Indonesia membuat masyarakat Tionghoa memperoleh kesempatan tampil di sektor publik. Wajah kaukasia seperti Agnes Monica menjadi pilihan menarik di Industri panggung Indonesia. Banyaknya grup boyband dan girlband di dunia panggung menjadi bukti bahwa industri hiburan Indonesia menghendaki penampil berkulit kuning bercita rasa Korea walupun berasal dari golongan keturunan Asia Timur yang lain (Tionghoa).
Lebih dari tiga dekade, masyarakat Tionghoa di Indonesia harus menyembunyikan identitas ketionghoaannya, dan di paksa untuk meleburkan sehingga tidak lagi terdapat identitas Tionghoa, yang ada hanya lah identitas Indonesia, namun hal ini berubah sangat drastis ketika Gus Dur memperbolehkan kesenian Tionghoa, seperti barongsai dan liong untuk kembali tampil dan hal ini mendorong masyarakat Tionghoa untuk kembali menampilkan identitas mereka sebagai etnis Tionghoa. Begitu pula dalam jagad politik di negeri ini, beberapa tokoh keturunan Tionghoa mulai mendapat tempat di ranah ini. Bahkan di dunia pemerintahan yang dulunya dianggap tabu. Muncul pejabat publik berdarah Indonesia-Tionghoa seperti Kwik Kian Gie dan Mari Elka Pangestu. Terpilihnya Ahok (Basuki T. Purnama) sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, bersama dengan Joko Widodo sebagai gubernur lewat pemilihan langsung, boleh dikata menjadi simbol paling ekstrem ihwal kebebasan itu, terutama di ranah sosial-politik. Sebelumnya pun, Basuki yang akrab disapa Ahok itu pernah terpilih menjadi bupati Belitung Timur.
Representasi Identitas
Keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia sejak abad ke-5 Masehi hingga saat ini memiliki sejarah yang panjang. Masyarakat Tionghoa dapat dikatakan mewarnai hampir separuh perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Keberadaan masyarakat Tionghoa di setiap tempat menandakan betapa aktifnya mobilitas orang Tionghoa. Sejarah berkisah bahwa masyarakat Tionghoa menjadi etnis “liyan”, bahkan sejak awal masa kolonial Belanda hingga masa Orde Baru. Keberadaan masyarakat Tionghoa kemudian dikaitkan dengan identitasnya yang berbeda dan kedekatan ideologi di daerah asal mereka dengan komunis, sehingga masyarakat Tionghoa harus menyembunyikan identitasnya selama Orde Baru yang represif. Identitas Tionghoa hadir kembali dengan semarak seiring dengan datangnya reformasi, dimana berbagai medium identitas Tionghoa bermunculan bak jamur. Identitas Tionghoa pun kemudian berkembang seiring dengan representasi budayanya disejumlah media. Munculnya beberapa tokoh Tionghoa dalam wilayah publik khususnya dalam ranah politik menjadi penanda diterimanya identitas tersebut di negeri ini. Tidak banyak disadari, bahwa pengaruh budaya Tionghoa dalam budaya Indonesia cukup besar, tidak hanya dalam bentuk kuliner, arsitektur klenteng, namun juga pada seni kriya, pengetahuan rakyat dan musik. Beberapa benda seni yang ada hingga saat ini sebagai warisan orang Tionghoa seperti kipas, kertas, kain sutera dan porselen. Barangkali pengetahuan rakyat yang paling di kenal adalah feng shui dan petasan, di mana kedua hal ini merupakan warisan orang Tionghoa yang paling dikenal, juga dalam bidang seni tradisional seperti gambang kromong, dan barong. Tentu saja budaya ini masih diperdebatkan keasliannya, apakah memang warisan orang Tionghoa atau asli dari Indonesia. Setidaknya dapat dilihat bahwa identitas Tionghoa pada awalnya kemudian berkembang menjadi identitas yang menjadi milik umum dalam hal ini Indonesia. Asimilasi yang terjadi menjadi penanda cairnya sebuah budaya. Meski tidak demikian dalam persoalan genetis. Ras yang berbeda tetap menjadikan masyarakat Tionghoa menjadi “liyan” diantara pribumi. Kebijakan multikultural dan pluralisme yang dilakukan setelah masa pasca-reformasi memang harus diakui sebagai era baru bagi masyarakat Tionghoa-Indonesia, yang memberi mereka kebebasan yang belum pernah diperoleh selama ini. Dengan kesuksesan dan diterimanya nilai- nilai Tionghoa dan eksistensinya bagi peradaban Indonesia sejak masa reformasi, kaum keturunan minoritas telah dapat merepresentasikan identitasnya dalam semua bidang di Indonesia.

Referensi:
Benedict Anderson, Komunitas-Komunitas Terbayang. Edisi Revisi. Yogyakarta: Insist-Putaka Pelajar, 2001.
Chang-Yau Hoon, Identitas Tionghoa: Pasca Suharto -Budaya, Politik, dan Media- terj. Budiawan. Jakarta: LP3ES dan Yayasan NABIL, 2012.
oleh : Citra Aryandari ( Staff pengajar Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yk)

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *