Bambu dalam Pusaran Perunggu
Abstract
This article describes the phenomenon of the presence of bamboo music around the Jogja ‘s street. Driving around Yogyakarta is not as pleasant as it was in the good old days. Traffic jam is inevitable in Jogja streets. The pleasant bamboo sound playing familiar songs gives a glimpse of calmness amongst the depressing traffic. To prolong its existence, we are expected to donate a little amount of money. The sound of bamboo is now an additional soundscape that sneaks into the noisy urban city soundscape of Jogja. Though originally came from another town, the bamboo sound is considered as a sound of the city after it mingles with the urban noise. It sounds beautiful, contrasting itself from the noisy urban sound. Using ethnography as its method, this research aims to test the process of production, dissemination, replication, and interpretation of angklung music that invades the city in a short time. It is important to investigated on how the process involves and relates the regional identities, musicians, and the listeners in the cultural reproduction in order to get an in depth description about the bamboo music phenomenon around Jogjakarta
Latar Belakang
Seorang etnomusikolog asal Jepang Shin Nakagawa pernah melakukan sebuah penelitian di Yogyakarta. Hasil penelitian Shin tersebut berusaha menjelaskan sesuatu yang disebutnya sebagai soundscape. Shin Nakagawa menemukan bahwa di setiap tempat, memiliki suara yang berbeda-beda. Tidak pernah ada suara yang identik, selalu ada suara yang berbeda di tempat-tempat tersebut. Lalu Shin Nakagawa menemukan bahwa Jogja sebenarnya adalah kota yang sangat bising, banyak suara-suara dengan desibel tinggi yang sebenarnya sangat mengganggu. Suara tersebut adalah buah dari modernitas, dan bergesernya Jogja menjadi sebuah kota urban. Suara tersebut datang dari berbagai produk modernitas seperti ramainya jalanan dengan kendaraan bermotor, dan lain sebagainya. Shin Nakagawa sempat heran, bagaimana bisa warga Jogja tetap hidup tenang dengan soundscape yang begitu bising?
Mengelilingi kota Jogjakarta kini tak senyaman dulu. Padatnya arus lalu lintas tak dapat dihindari di sepanjang jalanan Jogja. Mungkin ini sebuah tanda kemodernan yang disinyalir hadir tanpa keramahan. Meski demikian riuhnya jalanan kadang terasa sejuk dengan hadirnya musik bambu yang menghiasi perempatan jalan yang semakin sesak. Suara bambu yang indah dengan lagu-lagu yang akrab ditelinga, seolah memberi warna ketenangan dalam padatnya lalu lintas walau sejumlah uang harus disumbangkan untuk menjaga eksistensinya. Suara bambu tersebut adalah sebuah soundcape tambahan yang menyusup ke dalam soundscape bisingnya kota urban Jogja. Ia sesungguhnya bukan suara asli sekitar situ, suara bambu itu datang dari daerah lain. Setelah menyatu dengan kebisingan urban, jadilah suara bambu sebagai suara yang diperhitungkan, karena ia terdengar indah, beda dengan kebisingan urban.
Musik bambu hadir menghiasi jalanan jogja sekitar lima tahun lalu, tak tahu pasti apa yang membuat musik itu hadir bak cendawan di musim hujan. Sekian kelompok anak muda mematok ruang di trotoar atau pinggir jalan untuk tempat berekspresi. Seperangkat alat musik yang dinamai angklung mereka angkut setiap saat dan akhirnya dimainkan dipinggir jalan atau trotoar sambil menanti lalu lalang kendaraan yang berhenti karena lampu merah. Moment berhenti yang hadir dalam hitungan detik membawa keberuntungan rezeki dari mereka yang sekedar lewat dan merogoh kantong untuk sedikit berbagi.
Tak hanya pinggiran jalanan Jogja, Malioboro jantung kota Jogja pun tak ketinggalan. Kepadatan lalu lintas dengan berbagai macam sarana transportasi yang menghiasi, semakin riuh dengan hadirnya musik angklung di sepanjang jalan. Terdapat tiga kelompok pemusik angklung yang tiap malam beratraksi dan mengais rezeki. Angklung menjadi hiburan yang menyenangkan baik bagi turis, warga lokal yang lewat, juga pedagang kaki lima dan tukang becak yang menanti pelanggan. Tak jarang penonton memadati pinggir jalan samping kanan yang seharusnya menjadi hak becak dan andong. Beberapa penikmatpun tak sungkan untuk menari ditengah jalan menjadikan atraksi ini semakin luar biasa menarik.
Kota jogja yang dikenal sebagai kota budaya yang memiliki segala hal yang bernilai adiluhung dengan bangunan kraton yang masih kokoh berdiri yang letaknya tak jauh dari Malioboro. Kraton sebagai hegemoni budaya seolah tak lagi bersuara, gamelan perunggu yang hadir sebagai penanda kebesarannya tak lagi terdengar gaungnya. Bambu yang dipercaya dapat tumbuh dimana saja membuktikan keuletannya dan bahkan kini mampu menggerus pusaran perunggu yang seharusnya menjadi ikon dalam kota budaya ini. Musik bambu hadir mengitari kota yang konon kukuh dengan budaya adiluhung.
Ansamble jalanan yang mengitari jalanan Jogja akhir-akhir ini, dinamai musik angklung oleh para musisinya. Apabila kita searching tentang musik angklung dalam dunia maya, maka kita akan mendapatkan informasi mengenai alat musik tradisi yang berasal dari Jawa Barat dan nama Mang Udjo langsung dapat kita jumpai dalam laman tersebut. Musik angklung dikenal sebagai alat musik tradisi yang terbuat dari bambu, dan dimainkan dengan cara digoyang. Dalam permainannya alat musik tradisi Sunda ini membutuhkan banyak pemain karena biasanya satu orang pemain memegang satu melodi atau lebih. Tetapi penjelasan yang didapat dalam laman internet tentu saja berbeda dengan kenyataan yang ada di sekeliling Jogja. Musisi jalanan menyebut ansamble yang mereka mainkan sebagai musik angklung. Secara auditif suara yang dihasilkan adalah tak jauh beda dengan angklung yang ada di Jawa Barat, hanya saja secara visual angklung dimainkan dengan cara berbeda, yakni dengan ditata dalam sebuah bingkai yang diikat dengan karet. Hal ini tentu saja secara pragmatis mempermudah cara permainan dan lebih efektif untuk dimainkan di jalanan.
Angklung yang berada dijalanan merupakan kumpulan angklung yang direnteng dan diikat dengan karet. Dengan demikian tak memerlukan banyak pemain dalam permainannya. Seorang pemain bisa memainkan melodi dengan menggoyang angklung-angklung yang ditata sesuai urutan melodi. Selain alat musik angklung terdapat juga calung yang konon berasal dari daerah banyumas, calung ini merupakan bilah bambu yang ditata dan juga menghasilkan melodi, hanya saja biasanya dipukul dengan dua bahkan lima alat pemukul secara bersamaan sehingga menghasilkan akord harmoni. Alat-alat sederhana lainnya yang digunakan dalam ansamble ini ada drum-drum yang ditutup dengan karet ban. Kesederhanaan tampak dalam ansamble musik bambu yang menghiasi kota Jogja dalam tahun-tahun belakangan ini.
Mencermati fenomena kehadiran musik angklung ditengah kemegahan budaya Jogja yang establish tentu saja menjadi menarik, mengingat musik angklung yang mengitari kota ini semakin hari semakin tumbuh subur. Lebih dari sepuluh group tersebar di sudut jalanan kota dan semakin hari semakin bertambah. Bagaimana perubahan ruang yang terjadi dalam musik angklung ini menyebabkan hadirnya budaya baru, merupakan persoalan yang akan ditelaah dalam penelitian ini.
Menjadi persoalan kemudian mengapa musik angklung dapat bertahan di kota Jogja?, padahal seperti diketahui bersama bahwa angklung berasal dari dataran Sunda yang kemudian mengalami persebaran dan berkembang di wilayah Banyumas. Sebagai wilayah marjinal dalam yang jauh dari pusat kebudayaan seperti Kraton, kehadiran musik angklung di Jogja menunjukkan dikotomi musik Kraton versus musik rakyat yang mengejawantah dalam bentuk musik perunggu (gamelan, kraton) vs musik bambu (angklung, calung, rakyat). Musik juga berbicara mengenai kuasa, Kraton yang memiliki kuasa lantas menegaskan bahwa musik perunggu adalah hak penuh mereka, rakyat yang tak diperbolehkan memainkan musik perunggu dan akhirnya harus membuat sendiri instrument musik mereka dari bambu yang lebih mudah didapatkan. Tiba-tiba di era modern seperti sekarang, musik bambu ini menginfiltrasi wilayah kekuasaan Kraton, ditandai dengan hadir dijalanan Jogja dan mengelilingi Kraton, simbol hegemoni musik tradisi.
Lebih lanjut dapat kita coba tarik penelitian ini ke ranah ekonomi, dimana para pelakon ansambel musik angklung di jalanan Jogja ini praktis bermotif ekonomi. Mereka bermusik untuk mencari rupiah, demi memenuhi kebutuhan hidup. Lantas penelitian ini dapat melontarkan satu pertanyaan penting: apakah para pemusik angklung di jalanan Jogja ini sadar bahwa dibalik motif mencari uang mereka, ada sebuah perlawanan pada represi kebudayaan. Kemudian terkait dengan penonton yang meramaikan pertunjukan di jalanan tersebut, apakah mereka sadar ada semacam perlawanan wacana dan represi terjadi, atau para penonton sebenarnya hanya anggap pertunjukan itu sebagai sesuatu yang eksotis, dengan kacamata awam orientalisme.
Berbekal metode etnografi, penelitian ini bertujuan untuk menguji proses produksi, diseminasi, replikasi, dan interpretasi musik angklung yang dalam waktu cukup singkat menghiasi kota Jogjakarta. Dengan menelusuri bagaimana proses ini melibatkan dan menghubungkan identitas wilayah, musisi dan penikmat yang semua memiliki andil dalam sebuah reproduksi budaya merupakan langkah penting dalam mendapatkan gambaran secara mendalam fenomena merebaknya gema melodi bambu disekitaran Jogjakarta.
Meleburnya Identitas
Seperti diketahui bersama musik angklung memang berasal dari Jawa Barat. Namun, letak geografis Banyumas yang berada pada perbatasan dua etnis Jawa-Sunda memungkinkan terjadinya persebaran angklung di wilayah tersebut. Meski demikian musik angklung di Banyumas dapat dikatakan beda dengan apa yang ada di Sunda. Perbedaan ini tentu saja dapat dipahami sebagai proses adaptasi kultural yang sangat lumrah terjadi. Perkawinan dengan musik lain yang lebih dulu hadir, menjadikan musik angklung yang ada di Banyumas berbeda dengan musik angklung yang berasal dari Sunda. Perbedaan tersebut tampak pada penggunaan instrumen-instrumen dalam satu ansamble musik angklung. Di wilayah Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan sekitarnya setiap kampung pasti punya group angklung atau sering juga mereka sebut “Kenthongan”. Kelahiran musik angklung pastilah merupakan rangkaian mata rantai perjalanan kesenian di Banyumas yang telah bersimbiosis dengan perubahan sosial yang terjadi terus-menerus. Di tengah perubahan sosial inilah musik angklung lahir sebagai seni hiburan masyarakat Banyumas. Musik angklung lahir sebagai kesenian alternatif yang dapat mewadahi kebutuhan masyarakat Banyumas akan hadirnya bentuk sajian seni yang digunakan sebagai sarana ekspresi sekaligus pemenuhan kebutuhan estetis dalam dirinya. Musik ini selanjutnya berkembang mengarah pada bentuk entartaiment melibatkan dua hal selama ini banyak dikontradiksikan; tradisi-modern. Namun demikian hadirnya kedua warna ini justru membuktikan bahwa masyarakat Banyumas yang saat ini tengah berjalan di rel modernisasi tidak sepenuhnya meninggalkan kehidupan masa lalu mereka yang berakar dari kerakyatan. Warna tradisional di dalam pertunjukan angklung adalah ekstrak dari produk kebudayaan lama yang masih dipertahankan dalam mewujudkan bentuk kreativitas seni. Oleh karena itu pada banyak segi di dalamnya merupakan bentuk imitasi dari ragam kesenian yang sudah ada sebelumnya.
Banyumas yang kaya akan bambu telah melahirkan berbagai jenis musik tradisional seperti calung, angklung, krumpyung, gondoliyo/bongkel. Jenis musik ini sama-sama memiliki instrumen terbuat dari bambu wulung. Ketersediaan bahan baku yang melimpah di daerah ini memungkinkan melahirkan daya kreativitas masyarakatnya. Bambu-bambu itu dibuat menjadi bilah-bilah nada yang dilaras sesuai dengan keperluan sajian musik. Ada yang dibuat model nada-nada yang dirangkai dalam satu rancakan dan teknik menabuhnya dengan cara dipukul; maka jadilah calung. Ada pula bilah-bilah nadanya yang digantung sehingga teknik menabuhnya dengan cara digoyang; maka jadilah angklung, krumpyung dan bongkel.
Dilihat dari sisi organologis, secara fisik instrumen yang terdapat dalam ansamble musik angklung merupakan bentuk metamorfosis dari alat-alat musik tersebut di atas. Romantisme masyarakat Banyumas terhadap masa lalu yang melekat pada pertunjukan-pertunjukan rakyat seperti calung, angklung, krumpyung, gondoliyo/bongkel—semua alat musik bambu—yang berpadu dengan nuansa kekinian telah melahirkan ide-ide kreatif melalui ansamble musik angklung. Sebagai sebuah metamorfosis, di dalam proses penciptaan musik angklung tentu saja terjadi proses imitasi terhadap ragam alat musik yang sudah ada sebelumnya. Proses imitasi tersebut tidak sekedar dalam bentuk “fotocopy” belaka, tetapi juga melakukan inovasi dengan memasukkan unsur-unsur “baru” mulai dari ragam dan bentuk alat musik (organologi), lagu-lagu yang disajikan. Proses imitasi dan inovasi seperti ini semakin lama semakin mewujudkan suatu bangunan musik yang lengkap dan semakin menarik ditonton sehingga semakin banyak masyarakat yang menyukai maka semakin bermunculaan kelompok-kelompok musik angklung.
Music berbahan bambu menurut mitos yang berkembang, tercipta dari kepercayaan pandangan hidup masyarakat Sunda terhadap Nyai Sri Pohaci, sang dewi padi pemberi kehidupan. Dalam mengolah tanaman padi, masyarakat menciptakan syair-syair dan lagu untuk di persembahkan kepada sang dewi padi sebagai bentuk penghormatan sekaligus upaya menolak bala agar sawah selalu subur, lagu-lagu persembahan kepada sang dewi Sri tersebut dilantunkan dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas secara sederhana. Kemudian kemasan batang bambu tersebut dikenal dengan angklung dan calung.
Menurut dokumen yang ditulis dari saung Mang Udjo, angklung menyebar secara luas di hampir seluruh pelosok Jawa Barat. Instrumen bambu ini dipergunakan sebagai sarana ritual yang berkaitan dengan upacara kesuburan dalam rangka menghormati Dewi Sri agar berkenan melimpahkan berkah pada tanaman pertanian atau kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan penduduk. Penghormatan ini dilakukan dengan harapan hasilnya akan dapat membawa manfaat dan rezeki yang melimpah bagi penduduk.
Begitu pula di Banyumas yang memiliki beberapa instrumen bambu yang cukup dikenal, dan kini instrumen-instrumen itu sering dimainkan bersama dalam sebuah ansambel. Ansambel musik bambu pada awalnya hadir sebagai musik hiburan petani ketika berada di ladang. Namun, dalam perkembangannya kini fungsi musik tersebut bergeser menjadi musik untuk menemani ronda, membangunkan orang sahur saat puasa dan akhirnya menjadi musik jalanan (ngamen).
Seiring dengan perkembangan zaman, sikap dan selera masyarakat yang selalu berubah, maka sifat ansambel musik bambu ini tidak bisa mengelak dari kondisi tersebut. Perubahan tampak sebagai gejala adanya faktor zaman yaitu bentuk dan penggarapannya. Perubahan penggarapan yang terjadi pada sajian gendhing-gendhing Banyumasan bergeser oleh arus perkembangan zaman yang berorientasi pada selera pasar. Peristiwa tersebut menuntut adanya perubahan-perubahan penggarapan secara musikal maupun bentuk sajiannya. Semenjak awal tahun 1990-an, terlihat bahwa ansamble musik bambu tidak lagi didominasi oleh sajian gendhing-gendhing Banyumasan melainkan lebih mengedepankan lagu-lagu pop (dangdut).
Kembali ke sejarah angklung di tanah Sunda, seorang pemerhati musik bambu dari Universitas Leiden, Wim Van Zanten mengatakan hadirnya musik bambu bernada diatonis tak lepas dari campur tangan pemerintah. Angklung merupakan alat musik berbahan pipa bambu yang awalnya bertangga nada pentatonis yang terdiri atas lima nada, seperti gamelan dan alat musik tradisional lain. Tahun 1938, angklung mulai dimainkan dengan tangga nada diatonis layaknya alat musik barat, seperti piano. Sejak November 2010, angklung diakui sebagai warisan budaya oleh UNESCO, dan pemerintah turut aktif mempromosikan angklung, termasuk mengirim satu kelompok angklung yang menggunakan tangga nada diatonis ke luar negeri. Dan akhirnya permainan angklung bertangga nada diatonis mendominasi Indonesia. Etnomusikolog Franki Raden menyatakan bahwa sikap pemerintah yang menggandeng satu kelompok tertentu bisa mereduksi pemahaman esensi angklung. Dalam berbagai acara perhelatan internasional, permainan angklung selalu menampilkan repertoar lagu-lagu barat, sehingga tampak fungsi angklung semata-mata sebagai hiburan. Padahal sampai saat ini masyarakat Badui masih menggunakan angklung pentatonis saat menggelar ritual tanam padi (Kompas, 9 Desember 2013).
Untuk memahami gejala reproduksi budaya yang terjadi dalam ansambel musik bambu ini, maka perlu ditelaah kembali pendapat Appadurai mengenai mobilitas manusia yang menjadi faktor penting dalam pembentukan dan perubahan budaya. Batas-batas wilayah kebudayaan tidak lagi penting karena suatu kelompok tidak selalu terikat pada batas wilayah sendiri, ia telah menjadi bagian dari batas wilayah kebudayaan yang berbeda dan cenderung berubah-ubah saat orang berpindah tempat lain. Mobilitas ini kemudian mendorong proses rekonstruksi identitas sekelompok orang. Ada dua proses yang dapat terjadi. Pertama, terjadi adaptasi kultural para pendatang dengan kebudayaan tempat ia bermukim yang menyangkut adaptasi nilai dan praktik kehidupan. Kebudayaan lokal menjadi kekuatan baru dalam memperkenalkan nilai-nilai kepada pendatang, meskipun tidak sepenuhnya memiliki daya paksa. Kedua, terjadi proses pembentukan identitas individual yang dapat mengacu pada nilai-nilai kebudayaan asalnya (Appadurai, 1994). Bahkan seseorang dapat ikut memproduksi kebudayaan asalnya ditempat yang baru. Kebudayaan berfungsi sebagai imagined values yang hadir dalam fikiran setiap orang menjadi pendukung dan mempertahankan kebudayaan itu meskipun seseorang berada diluar lingkungan kebudayaannya (Anderson, 2001).
Beralihnya mata pencarian dari sistem agraris menjadi non agraris ditengarai menjadi alasan utama mobilitas penduduk yang terjadi akhir-akhir ini. Urbanisasi tak dapat dihindari, pilihan penduduk meninggalkan pekerjaan di bidang pertanian, dan beralih bekerja menjadi buruh atau pekerja kasar, mau tak mau menjadikan kota sebagai destinasi hidup modern. Kondisi ini juga dialami oleh penduduk Banyumas dan sekitarnya, minimnya skill yang mereka memiliki membuat mereka berpikir keras untuk bertahan hidup dikota. Menjadi pengamen jalanan menjadi pilihan praktis untuk mendapat lebih dari sesuap nasi.
Jogja sebagai kota budaya merupakan tujuan yang menarik bagi para pemuda yang berasal dari wilayah Banyumas dan sekitarnya untuk mencoba peruntungan menjajakan musik bambu yang telah menubuh dalam diri setiap individunya. Kelompok Angklung New Banesa adalah salah satunya. Kelompok ini dalam kesehariannya termasuk kelompok musik angklung yang beruntung. Mendapatkan ruang strategis untuk dijadikan panggung yakni di tengah jantung kota Jogja (Malioboro) menjadi berkah tersendiri bagi mereka. Mangkal di depan hotel Mutiara setiap malamnya membuat kelompok ini digandrungi masa. Kelompok New Banesa hadir dijogja sejak 7 Agustus 2009 lalu. Sebelum ke Jogja mereka mengaku telah merambah ke berbagai kota di Indonesia di antaranya Surabaya, Jakarta, Semarang, Boyolali, Temanggung, Kulonprogo dan sebagainya, tetapi tak dapat bertahan seperti di Malioboro. Dalam temaram lampu kendaraan yang melintas dan pendar cahaya pertokoan yang ada mereka menampilkan lagu-lagu dangdut, campur sari yang akrab ditelinga penikmatnya. Setidaknya 20-30 lagu setiap malam dilantunkan dalam durasi 2,5 jam (Wawancara dengan Ryan, 5 Des 2013). Gambang (calung), angklung renteng, marakas, bedug kecil, bedug bass, dan cymbal kecil mereka mainkan setiap malam di jalanan Malioboro. Dengan mengenakan seragam yang berbeda setiap harinya, mereka memainkan angklung-angklung itu dengan indah. Sebuah kotak kayu yang siap menerima rupiah diletakkan didepan instrumen yang berjajar. Kertas uang ribuan hingga, lima puluh ribu rupiah yang diberikan secara sukarela oleh penikmat mengisi kotak tersebut setiap malamnya. Satu per satu lagu mulai mereka lantunkan dengan nyanyian penuh semangat dari pemusik yang juga memainkan instrumen. Pengendara mobil dan motor yang melintas pun menyempatkan untuk melirik, bahkan berhenti sejenak untuk sekedar menikmati sesaat. Pejalan kaki yang berjalan biasanya tak bisa melewatkan pesona mereka dan berhenti sejenak untuk melihat meski dalam kerumunan yang sesak. Dalam setiap penampilan, mereka selalu ditonton layaknya sedang konser. Tak jarang, karena terlalu asik menikmati, seorang penonton ikut hanyut dalam alunan musik bambu sehingga tak sadar ikut bergoyang dan bernyanyi.
Kelompok Angklung New Banesa terdiri dari sembilan orang anggota yang telah memiliki tugas masing-masing. Tujuh orang anggota bertugas sebagai musisi, dan dua orang anggota bertugas mengatur jalan, hal ini sangat penting mengingat mereka menggunakan jalanan sebagai panggungnya. Dan dari ketujuh musisi tersebut, dua diantaranya berasal dari Jogja, yang tumbuh dan besar di jalanan Malioboro. Dalam perjalanan karirnya sebagai musisi jalanan kelompok ini sering mendapat panggilan untuk bermusik di beberapa event yang diselenggarakan perusahaan, instansi pemerintah atau swasta dan masyarakat umum yang punya hajat. Alat musik yang dimainkan tidak murni angklung saja, tapi sudah dimodifikasi dengan perangkat musik yang lainnya, sehingga ansamble musik bambu ini semakin meriah menghiasi jalanan Malioboro di setiap malamnya.
Malioboro memang unik. Maraknya kehadiran pedagang kaki lima yang menempati trotoar menjadi ciri khas utama kawasan ini. Industri pariwisata yang ada menjadikan Malioboro menjadi pusat bisnis dengan perputaran uang yang tinggi. Berbagai orang dengan bermacam kepentingan hadir di Malioboro. Malioboro dan jalanan trotoarnya kemudian menjadi seperti “tanah harapan”, sebuah wilayah “baru” yang menjanjikan setiap orang untuk turut mengambil bagian dalam mengais rezeki. Termasuk juga kelompok-kelompok musik angklung yang menggunakan pinggir jalan Malioboro sebagai panggungnya. Ada tiga kelompok yang mematok ruang publik ini menjadi stage tempat mereka berekspresi. Peristiwa semacam ini sering disebut oleh beberapa ahli dengan fenomena frontierisme.
Frontierisme merupakan sebuah pandangan yang menganggap adanya “ruang kosong” di hadapan yang dapat di duduki dan kuasai. Dalam kasus Malioboro “ruang kosong yang dimaksud adalah ruang publik yang seharusnya menjadi hak publik, bukan milik pribadi yang dapat diduduki dan dikuasai, yakni trotoar dan pinggir jalan. Trotoar dan pinggir jalan dalam pandangan ini dianggap sebagai daerah frontier seperti belantara yang dapat dimasuki, diduduki atau ditaklukkan. Seperti layaknya ruang kosong, Malioboro didatangi oleh banyak orang dan kemudian mendudukinya. Pedagang Kaki Lima, Kelompok Musik Angklung ini telah menaklukkan para pejalan kaki di Malioboro. Hasrat untuk menduduki ruang kosong tersebut membangun ideologi frontierisme ini. Frontierisme kemudian terlihat sebagai sebuah konstruksi mengenai penembusan batas, penguasaan dan penaklukan atas ruang yang bersifat progresif dan ekspansif. Pada perkembangan selanjutnya, ketika gagasan mengenai frontier ini diaktualisasikan, ekspansi yang progresif ini memunculkan sikap kompetitif dan siasat agar dapat memenangkan “pertempuran” di wilayah frontier tersebut. Di wilayah ini hukum dan aturan-aturan resmi dianggap tidak ada, sehingga interaksi yang terjadi kemudian menunjukkan kesemrawutan, ketidakteraturan serta juga munculnya kompromi untuk menerima keadaan apapun yang terjadi (Melbin, 1978:7).
Trotoar serta pinggir jalan Malioboro seharusnya menjadi publik space yang no-one’s space telah bergeser menjadi private/someone’s space. Orang melakukan pengakuan atas public space sebagai wilayah pribadinya, ia memposisikan dirinya untuk menjadi “tuan” di atas kaplingnya. Ketika banyak orang melihat trotoar dan jalanan Malioboro sebagai ruang yang dapat memberikan ruang bagi pribadi-pribadi, maka semakin banyak pula orang yang berdatangan dan mengisi trotoar dan jalanan Malioboro. Banyaknya orang yang masuk ke ruang Malioboro, berarti sebanyak itu pula kepentingan yang muncul. Perebutan atas trotoar dan jalanan pun terjadi. Perebutan di sini lebih pada bagaimana orang menggunakan trotoar dan pinggir jalan sebagai ruang yang dapat mengaktualisasikan kepentingan pribadi tiap-tiap individu. Melihat apa yang terjadi di Malioboro kini dengan segala hiruk pikuknya serta perebutan berbagai kepentingan, tak lepas dari nuansa bisnis. Dunia bisnis dengan motif ekonominya, membuat orang berusaha untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan modal yang serendah-rendahnya. Bisnis yang marak di Malioboro adalah industri pariwisata. Malioboro dijadikan tujuan utama wisata kota Yogyakarta. Malioboro kemudian menjadi pusat di mana uang yang beredar di dalamnya begitu melimpah yang pasti menggiurkan bagi siapa saja. Orang pun kemudian berebut untuk masuk ke wilayah Malioboro dengan caranya masing-masing untuk mengais rejeki dari Malioboro. Mulai dari pedagang kaki lima yang sekarang semakin membuat sempit trotoar Malioboro, pemusik jalanan yang menempati pingir jalan Malioboro sebagai stage nya.
Kehadiran pedagang kaki lima dan musisi jalanan memang dianggap menimbulkan kesemrawutan, meski demikian kehadiran mereka dibutuhkan bagi Malioboro. Pedagang kaki lima memberi kontribusi yang besar bagi Pemda Kodya Yogya, seperti sewa kapling, pajak pembangunan, retribusi, pariwisata dengan wisatawannya yang datang ke Malioboro serta penjualan produk-produk dalam negeri. Pengunjung Malioboro yang datang ke Malioboro dan berjalan di atas trotoar juga membutuhkan kehadiran pedagang kaki lima. Orang belum tentu mau datang ke Malioboro jika tidak ada pedagang kaki limanya yang padat tersebut. Kehadiran pedagang kaki lima sudah menjadi satu dengan citra Malioboro, dan citra ini juga telah terbangun dalam benak para pengunjung Malioboro. Kesemrawutan Malioboro sendiri, sebenarnya tidak bisa lepas dari peran pengunjung Malioboro atau pejalan kaki itu sendiri. Bisa dikatakan bahwa mereka yang ingin menikmati Malioboro menjadi semakin bertambah. Juga dari perilaku pejalan kaki sendiri di Malioboro, dimana pejalan kaki berjalan lambat di atas trotoar. Kelambatan ini tercipta oleh sesaknya trotoar Malioboro oleh pedagang kaki lima dan pejalan kaki, sehingga mereka harus berjalan beriringan. Kelambatan ini juga sengaja dimunculkan oleh pejalan kaki. Mereka berjalan sambil melihat-lihat barang-barang yang dijual pedagang kaki lima, ketika kemudian mereka tertarik maka berhentilah ia di salah satu stand pedagang, pejalan kaki lain yang berada di belakangnya pun kemudian melewatinya sambil berkelit agak susah payah. Melihat kenyataan di atas, dapat dikatakan Malioboro secara sengaja menyediakan trotoarnya tidak hanya untuk pejalan kaki saja tetapi juga sebagai tempat bagi pedagang kaki lima untuk berjualan. Malioboro pun kemudian dikenal sebagai tempat dengan kehadiran pedagang kaki limanya. Itulah identitas Malioboro. Identitas seperti inilah yang membedakan trotoar Malioboro dengan daerah lain. Ketika seorang individu atau sekelompok individu menempatkan dirinya di dalam trotoar Malioboro, maka ia akan membangun citra (menyiapkan diri) terhadap trotoar Malioboro. Ia beradaptasi dengan kenyataan yang terjadi di atas trotoar tersebut. Berbagai perilaku dari individu ini kemudian membangun identitas dari Malioboro itu sendiri. Secara proxemik identitas yang melekat pada Malioboro dibangun oleh bagaimana orang memandang Malioboro dan kemudian berperilaku di Malioboro. Orang sadar ketika ia berjalan di atas trotoar Malioboro, ia akan bertemu dengan pedagang kaki lima dengan barang-barang dagangannya yang khas. Ketika malam ia berjalan di Malioboro pada waktu malam hari, orang pun akan bertemu dengan pedagang lesehannya yang berhiaskan suara-suara dari pemusik jalanan.
Kini Malioboro semakin meriah dengan hadirnya kelompok musik angklung yang menjadi hiburan baru bagi pecinta musik dangdut. Ditutupnya purawisata sebagai ikon kehidupan dangdut Jogja di akhir tahun 2012 menjadikan musik angklung sebagai pilihan menarik para penggemar setia purawisata untuk berjoged. Para pecinta dangdut purawisata mengaku merasa kehilangan ruang hiburan dengan ditutupnya Purawisata, tetapi hadirnya musik angklung ini setidaknya dapat memenuhi hasrat mereka untuk sekedar bergoyang melepas penat. Sebuah suasana yang menjadi magnet untuk menarik orang datang ke Malioboro. Sebuah suasana yang membuat Malioboro selalu ramai oleh pengunjung yang datang silih berganti. Di lain pihak, Malioboro juga dikenal sebagai tempat yang semrawut dan tidak nyaman. Suasana perebutan ruang, mafia kapling, kemacetan dan kesemrawutan hampir selalu mengisi keseharian Malioboro. Di Malioboro orang sering merasa cemas jika akan menyeberang jalan, orang sering ditipu oleh pedagang, suasana kenikmatan berjalan di trotoarnya menjadi terusik dengan semakin ramainya trotoar Malioboro. Citra Malioboro yang terbangun pada benak individu kemudian tergantung dari hasil adaptasi individu dengan Malioboro itu sendiri. Identitas Malioboro kemudian terlihat mempunyai multi wajah, mulai yang khas romantis hingga semrawut. Dengan pedagang kaki limanya yang berjalan aneka macam barang yang khas, sebagai sebuah oleh-oleh dari Yogya, orang ramai berkunjung ke Malioboro. Akan tetapi ramainya pedagang kaki lima dan ramainya orang yang berkunjung ke Malioboro membuat Malioboro akhirnya menjadi terlihat sumpek dan semrawut, yang kadang membuat orang enggan untuk berkunjung ke Malioboro. Artinya, identitas Malioboro ini juga dipengaruhi oleh bagaimana orang memandang dan berperilaku di Malioboro. Di sini, citra individu memegang peranan dalam pembentukan identitas Malioboro.
Kondisi Malioboro sebagai ikon Jogja, secara tak langsung dapat mendeskripsikan kondisi Jogja secara keseluruhan. Hadirnya musik bambu di jalanan Jogja juga dapat dikatakan karena ideologi frontierism yang mulai menubuh pada masyarakat urban. Mendesaknya kebutuhan ekonomi karena beralihnya sistem agraris menjadi non agraris mau tak mau menjadikan kota sebagai simbol modernitas semakin padat. Kepadatan yang ada membuat manusia beradaptasi dengan lingkungan sosial budayanya. Istilah “Saiki jaman edan, sing ora edan ora keduman” mungkin ada benarnya. Perebutan ruang publik bisa kita liat sebagai bukti dari pernyataan tersebut. Jalanan Jogja mulai riuh dengan deretan warung tenda yang menghiasi, daerah stasiun Tugu misalnya puluhan angkringan dengan waktu sekejap menghiasi ruang tersebut. Pengamen jalanan pun tak mau membuang kesempatan untuk mengatasi persoalan ekonomi. Perebutan kekuasaan tampak secara nyata, saat pemilik angkringan, dan tukang parkir berebut pengunjung. Jalanan sekitar stasiun telah menjadi daerah frontier, daerah tanpa tuan yang dapat diperebutkan setiap individu yang berkepentingan. Tak hanya jalanan Tugu, hampir seluruh trotoar Kota Jogja kini menjadi daerah frontier. Kraton yang dulu mempunyai taring sebagai penguasa tunggal Jogja tak lagi memiliki taring. Hegemoni yang didengungkan ternyata tak mampu melawan ideologi frontierism yang hadir karena desakan ekonomi. Kehadiran musik bambu yang awalnya dibawa oleh pemuda Banyumas dan sekitarnya, menjadi pilihan yang menarik bagi beberapa pemuda Jogja untuk mengais rezeki. Tumbuhnya group-group musik di beberapa titik kota, menggambarkan bahwa Jogjakarta mampu beradaptasi dengan dampak modernitas yang mau tak mau terjadi di segala sektor.
Agaknya ideology frontierism untuk melawan hegemoni kraton ini sesuai dengan konsep Public Sphere yang dijelaskan oleh Jurgen Habermas. Public sphere adalah sebuah ruang publik dimana beberapa orang dapat berkumpul bersama, kemudian menggunakan ruang publik itu untuk kepentingan mereka. Kepentingan tersebut dapat bersifat ekonomi, sosial, atau politik. Malioboro atau jalanan di sekitar Jogja telah menjadi sebuah public sphere dimana orang-orang dapat memanfaatkannya untuk kepentingan mereka. Meski didorong oleh ideology frontierism yang berlandaskan ekonomi sebagai ciri utama masyarakat urban, sebenarnya ada sesuatu yang politis disini: tindakan melawan hegemoni. Seperti dijabarkan Habermas bahwa seringnya ada motif politik dalam setiap tindakan di public sphere, meskipun para pelakonnya kadang tidak menyadari adanya motif politik tersebut.
Kita dapat ambil contoh dari banyaknya ansambel musik angklung di public sphere (Malioboro). Musik yang termarjinalkan, berasal dari daerah yang jauh dari pusat kebudayaan adiluhung (kraton), kini menyusup masuk ke pusat adiluhung tersebut. Namun alih-alih memainkan musiknya di kraton (yang pasti sulit dilakukan), angklung dan calung kemudian memanfaatkan public sphere yang ada: jalanan di Jogja. Secara ekonomi mereka jadi kuat karena pendapatan bermain tiap malam sudah tentu besar. Secara politis mereka kuat karena berlindung dibalik public sphere, sebuah ruang public milik masyarakat. Ansambel angklung dan calung secara tidak langsung menantang hegemoni kraton itu, sekaligus menantang strata sosial yang mewujud dalam pertunjukan musik mahal di gedung-gedung pertunjukan atau café-café mahal. Mereka hadir di public sphere, di jalanan.
Pun para pedagang atau penjual yang berada di public sphere ini memiliki motif politik yang sama: melawan hegemoni. Meski frontierism nyata ada dimana mereka berjualan di jalanan dengan motif ekonomi, dibaliknya ada sebuah perlawanan pada hegemoni toko-toko ritel besar atau mall-mall yang kian menjamur di Jogja. Laju pembangunan tak terhenti di Jogja demi memajukan sektor pariwisata merupakan bagian dari modernitas. Inilah salah satu yang membuat Jogja makin semrawut. Para pedagang di Malioboro menanfaatkan kekuatan public sphere dengan baik, mereka yakin bahwa para pelancong jauh-jauh datang ke Jogja bukan untuk berbelanja ke mall. Melainkan mereka ingin merasakan berbelanja di sebuah ruang public: Malioboro. Ada semacam eksotisme yang ditawarkan public sphere ini. Sesuatu yang menjadikan Malioboro tetap ramai, meski begitu banyak mall atau pusat perbelanjaan di Jogja.
Reproduksi Budaya dengan Bambu
Jogja yang identik dengan tradisionalitas klasik yang menjadi identitas kota pada masa lampau, kini mengalami pergeseran yang mana hal itu menuju ke arah modernitas. Kraton sebagai istana raja yang merupakan warisan budaya masa lalu sampai detik ini masih kokoh berdiri, walau hegemoni nya tak lagi kental terasa. Beralihnya sistem mata pencarian di Jawa dari sistem agraris ke non agraris, membuat Jogja bergeliat. Urbanisasi yang terjadi mau tak mau menghasilkan budaya baru yang dinamis. Hadirnya musik angklung dijalanan Jogja mengindikasikan bahwa Jogja menjadi ruang multikultural yang terbuka. Berbagai budaya yang datang bersama kaum urban beradaptasi dengan indah dengan budaya setempat yang telah establish. Ruang-ruang publik yang tersedia secara bebas dapat diapresiasi oleh siapapun yang berkepentingan. Kraton sebagai simbol hegemoni atas budaya yang mapan tetap teguh dengan perunggu sebagai tanda keadiluhungannya. Dan bambu yang terkenal dengan keuletannya, mampu beradaptasi di segala ruang meski pusaran perunggu tampil megah dihadapan.
Anderson, Ben. 1991. Imagined Communities. London: Verso.
Appadurai, Arjun.1994. “Global Ethnoscape: Notes and Queries for Transnational
Anthropology” in R.G Fox (ed.), Recapturing Anthropology: Working in the Present. Santa Fe, NM: School of American Research Press.
Habermas, Jurgen. 1989. The Structural Transformation of The Public Sphere:
An inquiry into a Category of Bourgeois Society. Cambridge: Polity Press.
Kompas. 2013. Promosi Angklung Perlu Dibenahi. December 9th
Melbin, Murray. 1978. Night as Frontier. American Sociological Review 43.
Nakagawa, Shin. 2000. Musik dan Kosmos. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.