Festivalisasi “JAZZ” di Indonesia: dari Panggung Menuju Peristiwa

Intro

Lagu How High the Moon dalam irama swing yang begitu dinamis sangat indah mengiringi senja itu. Suara Ella Fitzgerald yang sangat khas dan merdu memberi semangat menembus kemacetan Jogja di akhir Minggu, 18 November 2017. NgayogJazz ke-sebelas diselenggarakan di Kalasan, pinggir Kota Jogja. Tempat ini menjadi tujuan peristiwa budaya kekinian yang sangat sayang jika terlewatkan. Padatnya jalanan Kota Jogja di hari Sabtu kini telah men-tradisi dan menjadi bagian kehidupan yang tak terpisahkan di kota pelajar itu. Namun, keceriaan irama swingdalam lantunan suara Lady Ella yang terunduh dari iTunes membuat warna kemacetan berbalut rintik hujan menjadi indah dan penuh semangat.

Somewhere there’s music, How faint the tune.

Somewhere there’s heaven, How high the moon…

NgayogJazz ke-sebelas mengambil tema dari pepatah Jawa yakni “Wani Ngalah Luhur Wekasane” yang bermakna siapa yang berani mengalah akan mendapatkan kemuliaan. Ngayogjazz berusaha menyentil mereka-mereka yang saat ini selalu selalu menonjolkan ego-nya, ingin menang sendiri, dan menghalalkan segala cara demi mencapai keuntungan dan tujuan pribadi maupun kelompok tertentu. Wani Ngejazz Luhur Wekasane, adalah sebuah kiasan, siapa yang berani mengapresiasi jazz di Ngayogjazz, akan mendapat kemuliaan.

Sebagai peristiwa budaya zaman now, Ngayogjazz menghadirkan bermacam peristiwa sebagai ajang berkumpul seluruh lapisan masyarakat.  Tak hanya panggung musik Jazz, Ngayogjazz menawarkan banyak hal seperti yang disampaikan Djadug Ferianto dalam beberapa promosi di media sosial. Ngayogjazz selalu memilih lokus desa di pinggiran kota Jogja. Beberapa narasumber (penyelenggara) ber statement bahwa event ini bukan  untuk mengajari penduduk desa bermain musik jazz tetapi justru mengajak kita (audience) belajar dari desa tersebut. Entah apa maksudnya, hanya saja sejak mengikuti Ngayogjazz sepuluh tahun terakhir, tak pernah pun kegiatan ini sepi pengunjung meski hujan mengguyur dengan lebat. Animo pengunjung semakin hari semakin ramai dan menjadi destinasi yang wajib dikunjungi setiap tahun. Berbagai atraksi budaya ditawarkan di Ngayogjazz sehingga “jazzsebagai genre music yang tersurat dalam Ngayogjazz seperti bunyi yang terdengar samar bak surga yang berada nun jauh disana.

There is no moon above, when love is far away too,

Till it comes true, that you love me as I love you…

Desa Kledokan, Kalasan terletak di sebelah Timur-Utara kota Jogja. Berbekal GPS sebagai instrumen wajib kekinian, sampailah ke lokasi Ngayogjazz ke-11 digelar. Berbagai atribut sebuah pesta menghiasi desa tersebut. Aneka bendera produk capital tampak berjajar menuntun pengunjung menuju keramaian. Para pemuda desa menyambut dengan senyum sembari menawarkan tempat parkir kendaraan. Ribuan kendaraan memadati desa tersebut, sehingga membuat kualahan para pemuda. Setelah melampaui senja dengan berebut ruang jalanan, malam itu di desa Kledokan yang jauh dari hiruk pikuk kota mendadak sangat riuh. Sejumlah panggung dengan berbagai ukuran dan atribut sponsor hadir mewarnai ruang. Di tengah tanah yang cukup luas dan lapang tampak para penonton duduk berjajar menanti sajian music di panggung yang megah dengan lampu aneka warna. Sembari menanti penampilan musik terdengar lelaki melantunkan suara dalam bahasa arab untuk mengiringi beberapa pemuda yang menari dalam balutan kostum yang eklektik. Kesenian tradisional pun turut meramaikan pagelaran ini.

Somewhere there’s heaven, it’s where you are

Somewhere there’s music, how near how far…

Di panggung lain, di tengah padatnya rumah para warga, sebuah grand piano diletakkan di atas stage yang tak begitu tinggi. Piano begitu megah dan menjadi sangat menonjol tatkala seorang musisi Jazz “bule” kenamaan memainkan lagu Jazz yang begitu rumit dan sangat subjektif. Beberapa pengunjung menghampiri dan menonton sejenak dan kemudian berjalan meninggalkan kerumunan dan mencari suguhan lain, hanya penikmat Jazz fanatik sepertinya yang menikmati seksama di ruang ini. Tak jauh dari panggung tersebut tampak panggung lain dengan ukuran cukup besar dan cukup tinggi sehingga memungkinkan penonton melihat dari jarak yang cukup jauh. Rubah di Selatan sebuah group music dari Jogja yang cukup laris, menghiasi panggung music local akhir-akhir ini menghibur fans dengan lagu folk progressive. Tak jarang penonton ikut menyanyi bersama untuk menunjukkan antusiasm terhadap band yang sedang digandrungi. Di sisi yang sama dalam jarak sekitar kurang dari 100 meter ada panggung yang tampak penuh dengan alat music etnis seperti gamelan dll. Malam itu sebuah group dari kota tetangga (Solo) menghibur penonton dengan permainan alat music etnis berpadu dengan alat music mainstream (Bass, Drum, Gitar, dll). Penampilan semakin meriah dengan seragam batik para musisi juga penyanyi perempuan dengan kebaya dengan make up yang mencolok.

The darkest night would shine, if you would come to me soon

Until you will, how still my heart, how high the moon.

Ngayogjazz ke-11 tak hanya menawarkan pertunjukan music tetapi juga kesenian tradisional dan pasar tiban yang bernama pasar jazz. Pasar jazz diikuti oleh segenap warga desa dan beberapa komunitas di Jogja. Seperti komunitas literasi, foto, film, otomotif dll. Hampir seluruh rumah beralih fungsi sebagai warung makan. Meski hanya sehari tetapi pemberdayaan ekonomi warga tampak dinamis. Ngayogjazz sebagai peristiwa budaya mampu menyedot perhatian khalayak luas tak hanya pecinta musik, tetapi siapapun yang tak ingin kehilangan moment kekinian.

Event Jazz semacam ini telah berkembang di beberapa tempat di Indonesia dengan berbagai bentuk dan tujuan. Festival Java Jazz, Jazz Gunung, Jazz Diatas Awan, Maratua Jazz Festival, Jazz @Fort Rotterdam, dll telah mewarnai peristiwa budaya di Indonesia. Antusiasme penonton dan penyelenggara dalam mengkomodifikasi term “Jazz” sebagai sebuah festival menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut. Jazz sebagai genre musik yang bukan berasal dari Indonesia beradaptasi dengan budaya Indonesia menjadikan genre musik ini hadir tak hanya sebagai persoalan panggung tetapi juga peristiwa. Tulisan ini selanjutnya akan membahas mengenai festivalisasi “Jazz” di Indonesia yang begitu massive dan beberapa tampak sporadic dengan mempertimbangkan data-data literature juga fenomena budaya yang terjadi.

 

Verse 1

Sejarah mencatat Jazz lahir dari tangan-tangan kreatif kaum kulit hitam yang mengalami penindasan dan perbudakan di Amerika pada akhir abad ke-18. Bagi orang-orang kulit hitam, musik dan gaya permainan mereka adalah wujud ekspresi dari sebuah perlawanan terhadap sistem politik yang rasis dan menindas. Sejarah mencatat perbudakan dan diskriminasi rasial di Amerika justru melahirkan musik-musik perlawanan seperti blues. Blues dianggap sebagai cikal bakal lahirnya musik jazz.  Beberapa musikolog mengemukakan, bahwa bentuk musik jazz telah mengalami perkembangan sehingga sampai pada bentuk yang dikenal saat ini. Pada awal tahun 1900 an, di kota New Orleans US dikenal banyak kelompok marching band yang selalu mengiringi upacara pemakaman warga komunitas Afrika. Para musisi marching band pemakaman sebagian besar belajar music secara otodidak, dan selain bermain music untuk keperluan upacara, mereka memainkan instrumen marching band tersebut di berbagai bar dan klub malam di kawasan lokalisasi sekitar Basin Street, New Orleans yang kemudian dikenal sebagai kawasan Storyville. Kawasan ini dikenal berpengaruh besar atas terciptanya music jazz. Tak hanya berhenti di kawasan hitam,  di tahun 1919, musisi jazz asal New Orleans yaitu Kid Ory’s Original Creole Jazz Band pentas di San Francisco dan Los Angeles, California. Dan pada tahun 1922, band  tersebut menjadi band kulit hitam pertama asal New Orleans yang membuat rekaman. Saat itu, jazz sudah mulai popular dan berkembang. Awalnya jazz hanya dimainkan para musisi kulit hitam. Namun pada era 1920-an, musisi kulit putih sudah mulai melirik jazz dan bahkan sudah terjadi kolaborasi antara musisi kulit hitam dan kulit putih. Kolaborasi pertama terjadi pada tahun 1926 saat Jelly Roll Morton melakukan rekaman bersama New Orleans Rhythm Kings. Pada masa yang sama jazz sudah mulai dimainkan dalam format orkestra atau big band, tak hanya band kecil dengan empat atau lima orang personil saja. Beberapa big band jazz yang cukup terkenal saat itu misalnya Fletcher Henderson band dan Duke Ellington band di New York, serta Earl Hines’ Bandasal Chicago. Semua big band ini sangat mempengaruhi terciptanya genre baru jazz yaitu swing.

 

Kembali ke lagu How High The Moon yang dinyanyikan lady Ella dengan irama swing. Lagu ini sangat memukau di bagian tengah lagu dimana sang Ratu Jazz meniru suara bass  solo dengan gaya Scat Singing. Gaya meniru suara alat music ini Ella pelajari saat dia bergabung dengan group bebop Dizzi Gillespie di tahun 1946. Tak hanya dengan meniru suara bass, Ella juga dapat meniru suara saksofon dan terompet dengan tehnik khusus yang luar biasa. Selain tehnik Scat Singing yang sangat otentik. Gaya Ella dalam bernyanyi dipengaruhi oleh Louis Armstrong sang musisi Jazz yang lahir dan besar di New Orleans yang juga pelantun lagu What a Wonderful World lagu yang dinobatkan sebagai lagu klasik milik dunia bahkanRekaman Louis Armstrong ini diabadikan di Grammy Hall of Fame pada 1999.

What a Wonderful World diciptakan oleh Bob Thiele dan George David Weiss dinyanyikan oleh Louis Armstrong dan rilis 1967. Pada masa itu iklim politik dan kehidupan di US sedang bergejolak  penuh kebencian serta prasangka rasialisme. Lagu ini diciptakan sebagai antithesis realita yang terjadi dengan maksud mengembalikan harapan akan hidup yang lebih baik, harmonis, damai, dan indah. Menyimak liriknya dengan seksama, bait demi bait, Louis Armstrong  sedang memimpikan dunia khayalan yang sempurna dimana hanya ada cinta di sekeliling kita.

 

“I see friends shaking hands. Saying, `How do you do?` They’re really saying, I love you,” penggalan bait lagu yang menunjukan keharmonisan dan kerukunan tanpa memandang latar belakang ras atau politik. Beberapa sumber menyatakan bahwa laguWhat a Wonderful World tidak mendapat respon baik di negeri asalnya Amerika tetapi justru populer di Inggris dan mendapat sambutan hangat di Inggris, lagu ini menjadi hits. Di negeri kerajaan tersebut, lagu ini sempat menjadi no.1, single terlaris di tahun 1968, menjadikan Louis Armstrong sebagai pria tertua yang lagunya pernah sampai di puncak tangga lagu Inggris. Bertolak belakang dengan di Amerika Serikat yang hanya mencapai posisi 116 bubling under alias tidak laku. Bahkan, label rekaman ABC Records tidak menyukainya sehingga tak ada usaha promosi yang dilakukan.

Di Indonesia, jazz dikenal sekitar tahun 1930-an diperkenalkan oleh imigran Filipina yang memainkan genre music ini di hotel-hotel Jakarta untuk menghibur para tamu. Musik Jazz mulai dapat diterima dan kemudian menyebar ke beberapa kota besar seperti Bandung dan Surabaya dan alhasil group-group music beraliran Jazz bermunculan, seperti: Iskandars Sextet, The Old Timers, juga The Progressive Trio. Di tahun 1950-an beberapa musisi jazz mulai menghiasi panggung Indonesia seperti Bill Saragih, Jack Lemmers (Lesmana), Eddy Karamoy, dan Joop Talalahu. Pada era 1980-an music Jazz mulai terlihat merambah perusahaan-perusahaan rekaman, sehingga genre ini mulai dikenal public music di Indonesia. Sebut saja Ireng Maulana, Elfa Secioria, Benny Likumahua, dan Oele Pattiselano. Dan pada beberapa tahun terakhir (2000-an) music Jazz telah dikenal luas dan menjadi bagian dari dunia music Indonesia. Beberapa nama yang cukup popular seperti Tompi, Syaharani, The groove, Maliq & D’Essentials, dll digandrungi sehingga banyak video dan suaranya diunduh oleh pecinta music dari dunia maya.

Perguliran music Jazz dari masa ke masa sangat menarik untuk ditelisik.‘Jazz’ ternyata kata yang tidak ada di kamus mana pun. Diperkirakan berawal dari bahasa slang inggris-amerika, jasm, yang sama dengan kata jism, dan memiliki arti roh, energi, dan keberanian. Ini seiring dengan semangat hadirnya genre music ini yang merepresentasikan resistensi budaya orang hitam terhadap Westernisasi, baik dari segi agama, maupun kultur politik. Jazz adalah musik pergerakan, pengejawantahan dari jiwa tertindas yang ingin bebas. Geliat pergerakan pembebasan diri orang Afro-Amerika dari belenggu struktur sosial-politik represif ini dituangkan dalam ekspresi nada, harmoni, dan gaya permainan bermusik. Jazz adalah musik yang ramah pada improvisasi sebebas apapun. Perkembangan lebih lanjut ideologi jazz diinterpretasikan tidak hanya sebatas perlawanan politis, tetapi menjadi gerakan liberalisasi atau dekonstruksi bermusik dalam rangka mencari ruang gerak, alternatif cara, dan gaya permainan lain.

Dimulai dari music jalanan untuk upacara pemakaman komunitas Afrika di New Orleans, kemudian masuk ke bar di kawasan red light Storyville, dan bergerak menembus jagat industry dengan merambah dunia rekaman. Musik Jazz sangat fluid beradaptasi dengan berbagai ruang dan waktu. Tidak hanya pola transmisi music Jazz yang bergulir dari jalanan, panggung, rekaman secara content music Jazz pun mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Telah disebutkan di atas bahwa Jazz pada awalnya berasal dari blues yang merupakan wujud ekspresi masyarakat kulit hitam, dan kemudian di tahun 20-an berkolaborasi dengan masyarakat kulit putih dengan formasi bigband dan menghasilkan swing yang begitu dinamis, selanjutnya hadir Bebop yang mempunyai karakteristik unik dengan tempo yang sangat cepat dengan mengutamakan improvisasi pada struktur harmoni. Para musisi seperti Dizzy Gillespie, Charlie Parker, Miles Davis hadir di tahun 40-an dengan menawarkan kebebasan Bebop. Berbeda dari swing yang lebih kearah big band atau orchestra, Bebop lebih pada improvisasi individual dalam permainan chord dan alat music. Juga di era ini muncul Ella Fitzgerald dengan permainan vocal scat singing yang sangat autentik. Dan lagu What a Wonderful World menawarkan kedamaian ditengah pesimisme public akan kondisi social politik di tahun 60-an. “Jazz” bukan hanya music tetapi cara untuk hidup, ada dan berpikir (Nina Simone)

Seiring dengan perkembangan di Indonesia, musik jazz pada perkembangan awalnya hanya merupakan sajian musik hiburan untuk para tamu di hotel kemudian mulai berkembang menjadi sebuah aliran musik yang mampu menembus dapur rekaman di perusahaan rekaman major, sehingga pada akhirnya  dengan mengikuti perkembangan jaman musik jazz dapat ditemukan di situs Youtube, Spotify, iTunes, dll. Kini Jazz telah merambah banyak ruang mulai dari panggung di lounge dan bar, panggung virtual (TV, Radio), dan akhirnya pada peristiwa budaya dalam bentuk festival di ruang nyata.

 

Verse 2

Orang awam masih menganggap bahwa musik jazz di Indonesia masih merupakan barang mahal dan elit. Pertunjukan musik jazz cenderung berlangsung di kafe-kafe atau di hotel berbintang. Mereka yang menikmati adalah kaum borjuis. Hal ini sangat wajar mengingat sejarah hadirnya music Jazz di Indonesia yang memang untuk hiburan tamu di hotel-hotel mewah. Musik jazz dianggap elit karena memang tidak begitu banyak penggemarnya. Untuk benar-benar memahami musik jazz juga diperlukan waktu belajar yang lama, serta tenaga dan biaya yang tak sedikit pula. Maka penggemar musik Jazz cenderung berasal dari latar belakang pendidikan tinggi seperti mahasiswa dan kalangan akademis lainnya. Di Indonesia festival music Jazz pertama hadir di kampus Universitas Indonesia (Fakultas Ekonomi) dimotori oleh Ireng Maulana, Chandra Darusman dkk, Jazz Goes to Campus menghadirkan panggung-panggung Jazz yang kemudian mewabah di jagat music di Indonesia dengan berbagai bentuk dan tujuan.

Sayangnya music Jazz masih belum dapat terlepas dari stigma Borjuasi yang melingkupinya. Dilema yang terjadi di Indonesia bahwa menikmati musik jazz dijadikan sebagai gaya hidup atau pola hidup seseorang. Ada kalangan tertentu yang terpaksa mendengar musik jazz hanya agar dipandang sebagai kaum borjuis. Musik tidak pernah suci hama dari sengkarut ekonomi, sosial, dan politik. Pun jazz yang awalnya menjadi wadah pergerakan kaum Afro-Amerika, perjalanan sejarah dan industrialisasi praktis menggeser makna perlawanan jazz menjadi sekadar gaya hidup, jazz menjadi penegasan strata sosial. Festival-festival jazz di Indonesia pun seperti Jak Jazz, Java Jazz, dll masih bertiket mahal dan mustahil terjangkau kelas menengah ke bawah.

Membaiknya pertumbuhan ekonomi memicu banyak wilayah untuk tumbuh menjadi pusat-pusat ekonomi. Sesuatu yang pada gilirannya disusul oleh bangkitnya kelas menengah baru dan euforia konsumsi, namun tingkat kesenjangan sosial kian lebar sebagaimana tampak dari meningkatnya kelompok gelandangan, pedagang informal, dan kaum marjinal lainnya. Wajah Indonesia kontemporer secara telanjang memunculkan paradoks. Dari sini kita bisa melihat Indonesia tidak terlepas dari gesekan-gesekan dalam banyak segi, baik spasial, ekonomi, sosial maupun kultural.

Jazz yang berkembang dengan stigma music elit kemudian mulai merambah banyak ruang yang tidak pernah diduga sebelumnya. Sebut saja Jazz Gunung, festival ini menawarkan nuansa yang berbeda dalam dunia seni pertunjukan music. Memilih lokus Gunung Bromo dan moment ulang tahun kemerdekaan RI, Festival Jazz Gunung memberikan pengalaman lain untuk merayakan kemerdekaan. Musik jazz yang dianggap sebagai kemerdekaan berekspresi dalam bermusik disandingkan dengan tradisi budaya yang ditata apik se apik pegunungan Tengger. Dengan biaya yang cukup mahal serta pengalaman perjalanan Festival Jazz Gunung menjadi peristiwa budaya yang telah berlangsung delapan tahun dan semakin banyak peminatnya. Di tahun 2017, Jazz Gunung diselenggarakan pada tanggal 18-19 Agustus di Jiwa Jawa Resort Bromo, Jawa Timur. Dengan biaya Rp. 500.000,00 – Rp. 1.600.000,00 per orang untuk melihat pertunjukan Jazz Gunung di lokasi yang begitu indah. Ini tentu saja belum termasuk paket menginap dll.

Ini tak jauh beda dengan  Festival Maratua Jazz and Dive Fiesta  (MJDF) yang merupakan kombinasi menikmati music Jazz yang dirangkai dengan kegiatan menyelam di perairan Kabupaten Berau. Pulau Maratua merupakan pulau terluar Indonesia yang terletak di Laut Sulawesi dan berbatasan dengan negara Malaysia. Pulau ini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Guna mengembangkan potensi pariwisata, Pemerintah Kabupaten Berau bekerja sama dengan Yayasan Berau Lestari dan WartaJazz untuk menggelar Maratua Jazz & Dive Fiesta (MJDF) yang kedua, pada tanggal 6-8 Oktober 2017. Acara tersebut tergolong unik, pasalnya menggabungkan dua komunitas yakni jazz dan diving. MJDF menawarkan menikmati konser musik jazz sambil snorkeling. MJDF mungkin satu-satunya di dunia. Konsepnya adalah konser jazz di pinggir pantai. Ini (MJDF) merupakan satu-satunya festival jazz sembari menanti golden moment (sunset). Acara ini bahkan dimulai dengan pelepasan Tukik. Harga yang dibanderol untuk menikmati serangkaian aktivitas selama tiga hari dan dua malam di Maratua Jazz & Dive Fiesta adalah Rp 3,5 juta. Dengan biaya itu, pengunjung  sudah bisa menikmati jazz concert, dive trip, snorkling, food festival, coral day, transplantasi karang, pelepasan tukik, island hopping(Maratua-Kakaban-Singalaki-Derawan).

Menilik beberapa festival Jazz yang harus merogoh kocek lumayan, beruntung, masih ada musisi dan perhelatan musik jazz yang tidak terlalu terseret sengkarut strata kelas. Walau tidak banyak, musisi dan festival ini masih berusaha meniupkan kembali ruh pergerakan ke tubuh jazz. Misalnya Ngayogjazzdi Yogyakarta yang setiap tahun selalu dihelat di wilayah perkampungan, tanpa tiket masuk mahal alias gratis, dan memberdayakan potensi warga lokal. Bertempat di sebuah kampung di pinggiran kota Jogja, festival ini dicintai dan ditunggu oleh warga Jogja dan sekitarnya. Jazz tak lagi milik kaum elit, siapapun dapat menikmati music ini dalam peristiwa budaya yang lebih kompleks.

Jazz tak lagi dinikmati di ruang tertutup seperti lounge hotel, bar dan pub. Pada perkembangan selanjutnya jazz ter transmisikan melalui radio maupun televise, kini Jazz mulai merambah ruang public yang sangat luas. Tak hanya wilayah gunung yang jauh dari hiruk pikuk kota atau pulau terluar Indonesi, festival Jazz diselenggarakan meski harus membayar biaya yang cukup fantastis walau akuntabilitas dapat dipertanggungjawabkan. Jogja dengan Ngayogjazz mencoba menawarkan “Jazz” dengan cara lain, memasuki ruang real yang mudah disentuh segala lapisan masyarakat. Jazz tak hanya hadir di panggung borjuasi, dan dunia virtual, tetapi kini Jazz hadir kembali pada teritori yang tersentuh segala lapisan masyarakat sebagai peristiwa budaya yang sangat dirindukan.

Ngayogjazzdi Yogyakarta

Chorus

Semarak festival Jazz di Indonesia dalam berbagai ragam bentuk dan tujuan tampaknya telah menjadi trend yang meramaikan dan mewarnai peristiwa budaya di Indonesia. Festivalisasi “Jazz” hadir sebagai fenomena budaya yang menunjukkan relasional antara music Jazz sebagai produk budaya global dengan budaya local dalam balutan identitas dan gaya hidup (Andy Bennet). Stigma bahwa music “Jazz” merupakan music borjuise, menjadikan perhelatan music dengan meminjam term ini tampak seolah menunjukkan strata kelas social. Jazz kemudian dikomodifikasi melalui festival dengan berbagai tujuan khususnya pengembangan destinasi pariwisata. MJDF, Jazz Gunung menawarkan paket perjalanan wisata sekaligus menikmati music Jazz dengan harga yang cukup fantastis. Hanya kelas social tertentu yang mampu menikmati tawaran perhelatan ini, belum lagi lokasi yang jauh dari perkotaan mengharuskan biaya ekstra untuk menjangkaunya. Meski demikian setidaknya warga sekitar diuntungkan karena tentunya kehadiran masyarakat menengah atas ini akan membawa imbas pemberdayaan ekonomi local. Bagaimana tidak, dengan mengunjungi tempat wisata seperti Maratua dan Bromo pastinya akan ada pembelanjaan diluar rutinitas. Festival Jazz tidak hanya menawarkan music Jazz tetapi pengalaman perjalanan menyenangkan.

Ngayogjazz pun demikian, berlokasi di pinggiran kota Jogja di sebuah kampung yang jauh dari hiruk pikuk kota menawarkan pengalaman perjalanan yang unik dan menarik. Tak semua warga Jogja ataupun sekitarnya mengetahui ruang yang digunakan untuk perhelatan acara. Dengan membebaskan segala lapisan masyarakat terlibat tanpa embel-embel harga tiket, tentunya perhelatan ini mendapat respon yang luar biasa dari masyarakat. Dengan bantuan GPS ataupun ikut shuttle bus yang telah dipersiapkan panitia, audience dapat menjangkau desa di sebelah Timur-Utara kota Jogja dengan cukup mudah. Desa Kledokan merupakan desa penghasil tembakau. Tanpa event ini mungkin tak banyak orang mengetahui desa tersebut kecuali masyarakat sekitar. Festival Jazz ini dapat dianggap sebagai media promosi ruang yang cukup efektif. Pemberdayaan ekonomi local yang ditawarkan dalam Pasar Jazz dalam Ngayogjazz cukup menyumbang hasil yang signifikan bagi desa meski di tahun 2017 ini pelaksanaan hanya sehari.

Festival Jazz memungkinkan hadir sebagai kendaraan untuk mobilisasi komunitas local dan global sebagai peristiwa spasial-temporal yang mengilhami dan menentukan makna dalam kehidupan manusia. Term festival Jazz hadir menjadi daya tarik penuh pesona yang melegitimasi sebuah imaji strata social. Festival tidak lagi sekadar peristiwa periodik, budaya, agama atau sejarah di dalam masyarakat, namun merupakan sarana populer masyarakat dalam mengkonsumsi dan mengalami budaya. Festival juga dianggap mampu untuk menyeimbangkan kebutuhan untuk mewakili lokalitas dalam perubahan social yang lebih luas (Sassatelli,2008). Festival kini dianggap menjadi cara yang menarik secara ekonomi untuk mengemas penjualan budaya serta kinerja dan menghasilkan pariwisata (Picard dan Robinson 2006; Roche 2000). Dalam festival kontemporer Gibson dan Connell (2012) melihat bahwasanya terdapat alasan yang sangat penting bagi masyarakat pedesaan dan terpencil untuk menghadirkan festival. Sebab festival dianggap mampuberperan serta dalam pertumbuhan ekonomi dalam mempromosikan pariwisata danaspek lain yang terkait dengan boosterisme budaya, itu juga bisa menjadi sarana pentingmemperkuat ikatan masyarakat dan rasa identitas lokal. Bergesernya trend Festival Jazz dari kota menuju pinggiran kota di Indonesia tak hanya melulu persoalan diseminasi music Jazz. Pengembangan dan pemberdayaan ekonomi disinyalir sebagai determinan munculnya fenomena ini.

 

Verse 3

Suara merdu Ella Fitzgerald dalam lagu How High the Moon yang diunduh dari iTunes mengingatkan sebuah perjalanan music Jazz yang sangat luar biasa. Bermula dari kawasan Red district Storyville New Orleans hingga kini hadir di sebuah desa di pinggiran kota Jogja, Gunung Bromo, bahkan Maratua pulau terluar Indonesia. Lebih dari satu abad music ini mengekspansi ruang dan budaya. Kini Jazz telah menjadi produk budaya global yang diterima setiap insan.

Kembali menilik perjalanan Ella Fitzgerald yang dapat dibaca dengan mudah di google, lagu How High the Moon pernah direkam ulang secara live di Berlin pada tahun 1960 dengan meniru suara bass solo. Gaya bernyanyi Lady Ella dengan tehnik scat singing serta meniru suara instrumen  terinsipirasi pada Gillespie musisi Bebop disekitar tahun 40-an juga Louis Armstrong. Musik Jazz memungkinkan setiap orang mengadaptasi secara subjective. Mungkin ini juga yang menjadikan music ini mampu menembus batas-batas budaya. Permainan music dengan mengandalkan kebebasan berekspresi dan berimprovisasi menjadikan music ini dapat diterima segala lapisan masyarakat. Di Indonesia music Jazz telah berelasi dengan budaya local yang kemudian terkomodifikasi melalui festival. Pergeseran dari panggung menuju peristiwa tak terelakkan, kebutuhan pengembangan ekonomi budaya hadir berkelindan bersama festivalisasi “Jazz” yang massive. Jazz sebagai music terdengar samar seperti surga yang berada setinggi bulan, ntah jauh ataupun dekat, malam yang paling gelap akan tetap bersinar dan music akan tetap dimainkan. How High the Moon. (Camar,2017)